Kamis, Mei 19, 2005

Pengalaman Ikut NII-AL Zaytun Era 1999

Saya masuk NII tahun 1999 karena diajak seorang teman (prosesnya mirip MLM). Awalnya saya yakin ini benar, tapi lama2 banyak hal bertentangan dg nurani saya. Saya wajib menyetor uang tiap bulan untuk 9 posting (pemasukan negara). Tiap kelompok terdiri dari 20-30 orang (disebut "desa"), diberi target Rp.50 juta/bulan.

Saya melihat banyak orang 'sakit' mental dan fisik karena stress dan tekanan besar. Misalnya, tiap kali mendengar dering telpon, mereka kaget, atau curiga dgn orang. Menganggap orang diluar kelompoknya lebih rendah (sama dgn kafir/binatang ternak), sehingga kita boleh/berhak mengambil harta mereka untuk membela negara. ALLAH = NEGARA (kata mereka).

Satu hal yang paling membuat saya SHOCK adalah proses 'munakahat' (pernikahan). Semua wanita tidak boleh menikah dengan pria diluar NII. Tata caranya, mereka dipertemukan (ta'aruf) oleh negara dan tidak boleh menolak. Padahal mereka sebelumnya tidak saling mengenal atau asing satu sama lain. Mereka diberi target harus segera menikah dan semua biaya ditanggung sendiri.

Saya banyak melihat wanita yg sengsara setelah menikah dan anak2 yg terlantar, karena suami/ayah mereka harus "berjihad" (berjuang 24 jam setiap hari). Pria yang awalnya bekerja atau kuliah banyak berhenti atau drop out. Tidak ada uang untuk membeli makan, susu, dan keperluan sehari-hari. Akhirnya mereka mengemis kepada rekan-rekan yang mampu, menjual apa saja yang mereka miliki sampai mereka jatuh miskin... atau berhutang kesana-kemari...atau berbohong...atau mencuri...

Menurut ajaran mereka, mencuri harta 'orang kafir' adalah sah, Harta yang dicuri disebut "rampasan perang". Negara juga membolehkan (bahkan kadang menganjurkan!) utk mencuri/berbohong. Kita sah membohongi 'orang kafir' untuk mendapatkan uang/harta mereka. Mereka menyebut hal ini "bertekhnis".

Saya sering merasa tidak nyaman jika memiliki sesuatu, karena orang2 disekeliling saya banyak yang sengsara dan menderita. Saya dihantui rasa bersalah jika makan makanan enak, membeli keperluan keperluan pribadi,dll

Saya trauma dengan kondisi ini....

Maka saya tdk mau dipertemukan atau dinikahkan dengan pria NII. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana hidup saya, jika harus menikah dengan pria, yang secara mental dan fisik jelas-jelas sakit... Tapi saya takut lari...dan semakin stress seperti orang gila!

Saya boleh menikah dengan pria pilihan saya, dengan syarat ia hrs masuk NII dulu. Jika ternyata ia tidak mau masuk NII, saya harus meninggalkan dan mengikhlaskan. Tapi saya harus mengusahakan semuanya sendiri.... Mereka baru memberi iming2 akan membantu kalau saya habis menyetor uang saja.

Tahun 2002 ayah kandung saya meninggal sebelum sempat melihat saya menikah. Saya bingung karena dilema saya ttg pernikahan di NII yg tdk dpt saya ungkapkan, sebab NII melarang anggotanya membuka identitas kepada orang2 diluar kelompok, bahkan terhadap keluarga sendiri...!

Tahun 2002 itu saya masuk subud krn ingin mendinginkan hati. Tapi disana banyak saya temui orang2 yg berselisih paham. Saya tdk mengerti, krn mrk mengatakan subud adalah perkumpulan persaudaraan kejiwaan, tapi konflik disana tidak pernah habis. Mereka menyebut semua itu sebagai "proses pembersihan" setiap orang.

Kegelisahan saya tidak terobati di subud krn tdk menemukan jawaban. Sehabis latihan saya bertanya, mengapa saya menari, sujud, menangis atau berputar2. Mereka bilang hanya saya yang tahu jawabannya! Lho, saya bertanya karena tidak tahu, koq malah dikembalikan ke saya?

Akhirnya bulan Oktober 2003 saya menemukan Sirnagalih. Pada tahun pertama, 6 materialisasi saya tidak ada yg terwujud. Mungkin karena saya masih merasa "takut" makmur..... atau masih merasa "merasa bersalah" jika makmur.....

Saya memerlukan waktu 6 tahun untuk mengumpulkan keberanian ini. Membuka semua hal yang selama ini saya bungkus rapi. Saya berpikir, mungkin tekanan jiwa ini yang menghambat materialisasi, karena rasa takut membuat saya belum bersih hati....