Senin, Juni 20, 2005

NII AL Zaytun Sesat kah ?

Al Zaytun Sesat (1/27)

Segala puji bagi Allah Rabbul ‘Alamin, dzat yang tidak mengambil sahabat maupun anak[1] dan tidak ada sekutu bagi-Nya dalam kerajaan-Nya. Dialah yang mengutus Muhammad sebagai Rasul-Nya untuk membawa Dien yang Haq agar segenap umat manusia beriman kepada Allah dzat yang suci dan esa Rububiyah, Uluhiyah, Asma’ serta Sifat-Nya, dengan memurnikan kethaatan dalam menghambakan diri menurut syari’at dan tuntunan akhlaq yang dicontoh-teladankan olehnya. Seraya menjauhi dan meninggalkan syirik dan thaghut, al- fakhsya’, al-munkar serta al-baghy, sehingga Allah berkenan memberikan jaminan perlindungan dan keamanan serta kemenangan bagi Islam atas seluruh dien yang lain maupun musuh-musuh dan para penentangnya.

Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Muhammad Rasulullah SAW dan keluarga serta para shahabatnya juga bagi para pengikutnya yang setia, maupun bagi kalangan yang tidak melakukan kedzhaliman terhadap dirinya sendiri.

Bersabda Rasulullah SAW: “Islam itu teratas dan tiada yang dapat melampaui terhadapnya (ketinggian Islam).” (HR Ad Daraquthni).

“Permulaan Islam itu asing dan kelak akan kembali menjadi asing” (HR Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Imam Ahmad).

“Sesungguhnya tali-tali Islam itu akan terlepas satu demi satu. Maka setiap putus satu tali, manusia akan bergantung dengan tali berikutnya. Dan tali Islam yang pertama kali terlepas adalah hukum(Nya), sedang yang terakhir kalinya adalah shalat.” (HR Imam Ahmad bersumber dari Abu Umamah).

“Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian yang berikutnya kemudian berikutnya.” (HR Bukhori dalam Mukhtashar Shahihnya hal. 363).

Sejarah Islam wal muslimin yang dirintis dan berhasil ditegakkan Nabi Muhammad SAW dalam wujud negara dan bangsa Islam, berdiri sebagai kekuatan yang ditakuti dunia (kuffar) dan ditunggu serta didambakan ummat manusia yang memiliki jiwa fithrah. Daulah dan kebangsaan Islam pun berhasil mewujudkan cara hidup dan kehidupan ummat Islam menjadi terberkahi (hayatun mubarakah), terbebas dari kedzhaliman dengan segala dimensinya, dan kemudian berkembang pesat memunculkan peradaban Islami di bawah naungan Khilafah Rasulillah SAW, Khulafaar Rasyidun selama tigapuluh tahun, yang berhasil dengan sukses menebarkan dan menegakkan keadilan, kesejahteraan, rasa aman-tenteram, serta syi’ar Islam.

Selanjutnya, mampu merehabilitasi kondisi tersebut setelah digonjang-ganjingkan oleh Khawarij, Mu’awiyah dan kerabat dekatnya serta Ibnu Saba’. Pada sekitar pertengahan abad VIII Masehi, kemanusiaan ummat terangkat derajat kemuliaannya pada tingkatan tinggi, di saat ummat manusia yang lain di belahan bumi daratan yang lain pula sedang dalam masa gelap dan kelam dengan segala dimensinya. Di benua Eropa di bawah imperium Romawi yang Katholik dan sebagian Asia di bawah pecampuran antara polytheis dan Atheis. Sedangkan kepulauan Nusantara (Indonesia) masa-masa itu tercatat masih lebih primitif dibandingkan dengan daratan India ataupun Cina.

Bahkan saat zaman ummat Islam di bawah dinasti Abbasiyah yang sulit untuk memperoleh klaim Islami dan demikian pula Dinasti Fathimiah yang Syi’ah serta Kesultanan Turki, Indonesia malah masih berada dalam peradaban ketoprak dan pewayangan. Tatkala da’wah Islam merambah Indonesia, perubahan memang terjadi pada sebagian masyarakat bangsa ini yang tercatat sangat primitif, jahil dan terkubur dalam dzhlumat fauqa dzhulumat, namun sejarah ternyata mencatat kemusliman mereka masih belum dan tidak meninggalkan peradaban mereka yang amat sinkretis tersebut.

Memang, Islam yang hadir ke Indonesia bukan Islam murni (Al-Khalish), ada yang Sunni tetapi Islam versi Sufi lebih mendominasi. Dan setelah bersinergi dengan budaya lokal yang sinkretis, akhirnya lahir kekhalifahan ketoprak, diperankan oleh Raja Mataram dan di lain tempat muncul berbagai kesultanan Islam.

Dalam keadaan keislaman ummat yang seperti itu, tiba-tiba datang kristen zionis, kolonial yang fasis dan berhasil menjajah serta menguasai Indonesia, menguras habis kekayaan alamnya serta merendahkan harkat, martabat maupun jiwa dan mental masyarakatnya. Dari situasi dan kondisi yang seperti itulah ummat mulai melakukan perlawanan sebisanya dan sekuat kemampuannya melepaskan diri dari penjajahan masyarakat kuffar dan dzhalim.

Di dalam ketidak-berdayaan yang multi dimensi, bangsa Indonesia memacu diri untuk berdaya-sembada (berkekuatan sekaligus mandiri) melalui Islam, Sosialis (Komunis) dan Filsafat Liberal maupun Kebathinan Hindu Jawa. Kalangan muslim yang notabene besar dan dewasanya diasuh oleh nilai dan prinsip keislaman yang sinkretik serta permisif, mengupayakan diri untuk mencari legitimasi dan jaminan serta pertolongan dari Allah. Artinya, Islam dikaji, dipelajari, diamalkan serta diperjuangkan namun dengan niatan hanya untuk dapat bantuan, pertolongan dan jaminan kemenangan dalam mengusir musuh, mendapatkan kemerdekaan serta legitimasi kekuasaan.

Acuan dan niat mendekati Islam lebih cenderung hanya untuk mencari kiblat yang benar dan terjamin dalam beramal Islami (menguasai fiqh ‘ibadah dan mu’amalah) serta dalam beramal jama’i (fiqh Haraky).

Dalam hal ini kekhilafan memang terjadi dan pendekatan terhadap Islam yang seperti ini hampir merupakan fenomena keberagamaan yang merata dan tidak dapat dipungkiri oleh strata masyarakat muslim manapun. Akibatnya, kecenderungan dan terjebak dalam pola tingkah laku sektarian (‘ashabiyah maupun isti’jal), akhirnya menjadikan mereka lebih sering bersikap dan bertindak yang selalu menuntut legitimasi syar’i dan politis atau kekuasaan atas ummat. Dan sikap itu memang sudah menjadi cacat bawaan.
Itulah wajah dan wujud nyata fenomena keberagamaan masyarakat dan bangsa Indonesia, yang berjalan dan seakan eksis pada masa kini.

Belum disadari bila kecenderungan tersebut sesungguhnya akan berimplikasi serta telah sama dengan mengabaikan terhadap eksistensi dan keselamatan diri sendiri di hadapan Allah. Yaitu konsentrasi pada pembangunan dan pembinaan aqidah sebagai faktor persiapan dan kesiapan diri sebagai mu’min, wadah kesadaran untuk tunduk, merujuk, ittiba’, istiqamah dan ta’dzhim (mengangungkan syari’at) secara bersinambungan dan lazim kepada Allah dan Rasul-Nya atau bisa juga disebut sebagai institusi penghambaan yang dituntut senantiasa bersikap mukhlish dan muhsin.

Sebagaimana kaidah yang berlaku bagi diterimanya suatu amal seorang hamba oleh Allah adalah Iman:

1. Iman atau Kemukminan
“Barang siapa yang ber’amal shalih dari kalangan lelaki ataupun wanita, sedang dia Mukmin, maka mereka itulah yang akan dimasukkan al jannah....” (QS 40: 40).
“Barang siapa yang ber’amal shalih dari kalangan lelaki ataupun wanita sedang dia Mukmin, maka pastilah akan Kami hidupkan ia (dalam) kehidupan yang baik“ (QS 16: 97).

2. Ikhlas-Keikhlasan
“Sesungguhnya aku diperintah agar aku mengabdi kepada Allah secara ikhlas menurut agama.” (QS 39:11).
“Sesungguhnya Allah tidak akan menerima suatu amal kecuali yang dilakukan secara ikhlas seraya mengharapkan keridlaan-Nya.” (HR Nasa’iy dan Imam Ahmad).

3. Ittiba’ (Mencontoh Rasulullah SAW)
“Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus maka ikutilah jalan itu, dan janganlah mengikuti jalan-jalan lain yang akan memecah-belah kamu dari jalan-Nya. Demikian itulah yang diwashiyatkan kepada kamu agar kamu bertakwa.” (QS 6:153).
“Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan (‘ibadah) yang tidak menurut perintah kami, maka perbuatannya itu tertolak.” (HR Bukhari, Ibnu Majah dan Ahmad).
“Sesungguhnya Allah hanya akan menerima amal dari orang yang bertaqwa.” (QS 5:27).

Akan menjadi sangat jauh berbeda, bila keberagamaan ummat ditekankan pada aspek persiapan dan kesiapan Iman-Aqidah hingga matang, sebagaimana halnya yang dimiliki para sahabat. Sehingga apa yang terjadi sepeninggal Khulafaur Rasyidin, maka tak seorang pun diantara mereka (seperti Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, Abdur Rahman bin Abu Bakar, Husein bin ‘Ali, Abdullah bin Zubair, Abdullah bin Ja’far dan Abdullah bin ’Ali bin Abi Thalib dan lain lain, yang secara de facto dan dejure berhasil melakukan rehabilitasi atas ummat dan peradaban Islam) yang tergesa dan berani melakukan klaim legitimasi atas kepemimpinan maupun kekuasaan Imarah (pemerintahan) yang berhasil ditegakkannya kembali, apalagi klaim legitimasi dalam konteks khilafah.

Ini merupakan bukti dan pertanda, bahwa kemukminan (fa’il) dan sebagai wadah bagi (fi’il) penghambaan yang berwujud kesadaran dan sikap ketundukan, senantiasa meruju’, ittiba‘, istiqamah, menjaga dan ta’dzhim atau mengagungkan syi’ar Allah yang dimiliki para sahabat radliyallahu anhum tersebut itulah yang sungguh pada akhirnya menjadikan mereka dijamin dan dimampukan Allah untuk senantiasa berpikir sehat dan jernih serta bertindak tepat, bijak dan konsisten.

Sehingga tidak ada nuansa ataupun indikasi nafsu dan ambisi yang bisa terbaca dan terdeteksi ada dan terdapat dalam fenomena da’wah, gerakan maupun jihad para sahabat ra. tersebut. Yang ada justru hanya obsesi yang kuat untuk berpegang, menghidupkan dan melestarikan Sunnah Rasulullah serta Sunnah Khulafaur Rasyidin, yaitu tegaknya syari’ah, akhlaqul karimah, bersih dan selamatnya Aqidah.

Kesimpulannya, adalah sangat tidak mustahil dan tidak perlu dianggap sebagai hal aneh bila dalam sejarah keberagamaan masyarakat dan bangsa Indonesia terjadi perilaku yang tidak lazim, lucu namun amat keterlaluan dilakukan oleh masyarakat dan bangsa ini, seperti munculnya NII dengan berbagai figurnya dari Kartosuwiryo hingga Abu Toto Syaikh Al-Zaytun kini, Jamus (Jama’atal Muslimin), Islam Jama’ah, Isa Bugis, Kadirun Yahya, Subud, Islam Kalimosodo, Islam Paramadina, Islam Tarekat, serta kelompok-kelompok sempalan keagamaan lainnya.

Sebegitu banyak macam dan ragamnya kelompok-kelompok agama yang ada di Indonesia, maka sebanyak itulah ‘Islam version’ mewarnai wajah dan wujud keberagamaan bangsa dan masyarakat Indonesia, yang cenderung melakukan aksi tarik-menarik, saling rekrut dan sikut antara satu dengan yang lain. Ditandai dengan sulit dan enggannya antara satu dengan lainnya –pihak-pihak yang mengklaim diri dan kelompok mereka sebagai harakah ataupun lembaga Islami-- untuk memberikan sikap maupun perlakuan ukhuwwah Islamiyah, terkecuali mereka yang dirahmati Allah. Maka sangat tidak mengherankan pula jika yang namanya persatuan maupun kesatuan ummat Islam masih jauh dari harapan masyarakat muslim bangsa Indonesia ini.

Kini, Penulis mencoba untuk mengingatkan kepada semua pihak atas apa yang sedang berjalan dan mengatas-namakan Islam tentang berbagai kenyataan dan fenomena yang berdampak negatif baik bagi Islam itu sendiri maupun bagi masyarakatnya.
Penulis mengajak kepada pihak-pihak tersebut untuk berani melakukan klarifikasi ilmiyah (Iqamatul Hujjah) atas seluruh sepak terjang dalam pemikiran maupun perilaku keberagamaan mereka. Sehingga tidaklah patut setiap gerakan atau kelompok yang mengatas-namakan Islam untuk merasa aman dan benar sendiri, sebelum mampu memberikan klarifikasi ilmiyah dan bertanggung jawab, kemudian senantiasa siap untuk melakukan perbaikan.

Lebih khusus, pada kesempatan upaya mengungkap tuntas kezhaliman, kesesatan dan kejahatan di balik gegap-gempita pemberitaan kemegahan Ma’had Al-Zaytun, Haurgeulis, Indramayu, pimpinan syaikh AS Panji Gumilang, sehubungan dengan banyaknya pengaduan dari masyarakat, baik secara individu maupun kelembagaan kepada SIKAT, tentang adanya kenyataan yang telah lama berjalan dalam kebergamaan ummat Islam yang memiliki nuansa fenomena penyimpangan yang sangat serius.

Untuk itulah bagi Penulis tidak mungkin berdiam diri dan membiarkan fenomena penyesatan dan penyimpangan ini leluasa hidup, berjalan dan berkembang di masyarakat, dan inilah barangkali yang merupakan faktor kuat dan alasan penerbitan buku “Islam Sesat Al-Zaytun” ini. Selain berisikan tentang data dan bukti sesat lagi menyesatkan dalam doktrin serta praktek amaliyah gerakan mereka yang mengindikasikan keterkaitan yang erat dengan NII, KW-9, Lembaga Kerasulan dan aliran sesat Isa Bugis, maka buku ini juga mengarahkan serta menghimbau berbagai pihak untuk ikut serta berpartisipasi aktif melakukan klarifikasi dan iqamatul hujjah secara bersama-sama dalam masalah penyakit sosial keagamaan ini.

Oleh karenanya bahasan utama buku ini yang juga merupakan data induk dari buku “Membongkar Gerakan Sesat NII di Balik Pesantren Mewah Al-Zaytun” terbitan LPPI, lebih menekankan pada aspek kesesatan dan penyesatan dalam I’tiqad yang dimiliki oleh kelompok gerakan yang mengatas-namakan Islam dengan nama NII (Negara Islam Indonesia), yang dalam waktu bersamaan menggelar aktivitas serta program pendidikan pesantren Al-Zaytun. Untuk membuktikan lebih jauh tentang kesesatan dan penyesatan kelompok NII tersebut, menjadi suatu keharusan bagi Penulis untuk menyertakan bukti, data ajaran, doktrin pelanggaran dan kejahatan-kejahatan yang telah mereka lakukan. Termasuk pula menjadi hal yang tidak terelakkan untuk melakukan studi kritis dan gugatan ilmiyah terhadap kesesatan maupun penyesatan aqidah, mu’amalah dan tsaqafah yang dimiliki Kartosoewirjo, sekaligus dengan lembaga NII yang diperjuangkannya.[2]
Pandangan terhadap kondisi dan situasi perjuangan atau gerakan politik Kartosoewirjo-NII, secara politik-ideologis dan bukan aqidah,[3] sesungguhnya tidaklah menjadi persoalan, terlebih karena mereka mengaku sebagai Mukmin. Segala kebaikan atau prestasi yang telah berhasil dilakukan, maka itu merupakan sisi-sisi positif yang sama sekali tidak perlu dipuja, dikenang dan diabadikan atau bahkan dijadikan mytos, karena sisi-perilaku positif dalam Islam pada dasarnya memang merupakan kewajiban setiap Mukmin tanpa terkecuali,[4] dan untuk itu cukuplah Allah sebagai penilai serta sebagai saksi. Kafa billahi hasiban, kafa billahi syahidan.
Bila bahasan ini terkesan berseberangan dengan reputasi atau apa pun namanya yang ada dan melekat pada NII, maka tiada harapan yang lain kecuali timbulnya kesediaan dan kesadaran berbagai pihak untuk melakukan introspeksi pembenahan diri, dalam keimanan maupun ke-Islaman yang shahih dengan menunjukkan hujjah serta alasan yang haq dalam wujud dan bentuk atau melalui forum iqamatul hujjah yang bisa dipertanggung-jawabkan, baik di hadapan Allah maupun di hadapan manusia, jika memang mengaku sebagai orang beriman.

Dalam pembuktian dan pelacakan data, penulis telah melakukan investigasi dan koordinasi dengan berbagai pihak yang berkompeten, seperti para mantan atau korban gerakan NII KW-9 Abu TOTO yang tersebar di berbagai propinsi dan kota, maupun sebagian yang masih aktif dalam gerakan NII KW-9 atau kalangan NII lainnya.
Investigasi yang penulis lakukan secara intensif berjalan sekitar satu tahun penuh, disamping pengalaman hidup bersama dengan para tokoh NII di penjara militer berbagai kota serta Lembaga Pemasyarakatan (LP), seperti LP Kalisosok Surabaya, LP Lowok Waru Malang, LP Cipinang Jakarta, terhitung sejak tahun 1981 hingga bebas tahun 1992, dan bergaul secara dekat dengan komunitas NII serta pergerakan lainnya sejak bebas hingga sekarang ini. Yang pasti, bisa dikatakan hampir seluruh tokoh NII baik jalur struktural maupun non-struktural pernah terlibat interaksi secara aktif dengan penulis, baik ketika masih di dalam penjara maupun setelah di luar (bebas).
Sumber data penulis berasal dari buku-buku tentang NII dan yang berkaitan dengan KW-9, juga dokumen atau klipping majalah, surat kabar yang memuat pemberitaan dari tahun ke tahun serta hasil wawancara langsung dengan para pelaku serta korban, tak terkecuali Abu Toto alias Abdus Salam alias AS Panji Gumilang sendiri oleh penulis yang berhasil melakukan wawancara langsung di tahun 1999. Begitu pun wawancara penulis dengan warga di empat desa di sekitar kompleks Ma’had Al-Zaytun berada, penulis mendapatkan berbagai penjelasan yang sangat berharga berkaitan dengan usaha penelitian penulisan buku ini.

Kalangan awam mungkin tidak menyadari adanya keganjilan yang berlangsung dalam praktek keberagamaan dan pendidikan Islam di Ma’had Al-Zaytun, apalagi pada masa sekarang ini setelah berusaha membenahi dan menutupi berbagai penyimpangan dan kesesatan yang menyolok selama ini. Padahal, kalaupun ummat yang awam mau meneliti dan mempelajari secara mendalam terhadap doktrin maupun praktek keberagamaan komunitas Al-Zaytun maupun dengan membaca akhbar kegiatan seputar ma’had yang dimuat dalam majalah Al-Zaytun milik mereka sendiri, ternyata banyak sekali dijumpai keanehan, penyimpangan dan penyesatan.

Diantaranya, praktek mark up nilai (kurs) zakat fithri yang mencapai lebih dari sepuluh kali lipat, setelah nama ibadah zakat fithri dirubah dengan nama Harakat Ramadlan. Bila pelaksanaan ketentuan zakat fithri yang berjalan dan dipahami oleh umat Islam baik sejak zaman sahabat hingga masa kini adalah sebanyak satu sha’ gandum atau tepung, yang kalau dinilai harganya tidak lebih setara dengan 3,5 liter beras atau sekitar Rp 7.500 dalam bentuk uang, maka oleh NII KW-9 Abu Toto AS Panji Gumilang dilipatgandakan menjadi 13 kali lipat atau uang senilai Rp 100.000 bahkan ada yang membayar Rp 900.000, Rp 1.150.000, Rp 1.500.000 karena diperlombakan. Baik dalam pemungutan maupun pendistribusian, landasan syar’i-nya ternyata hanya mengikuti logika dan analogi yang amat sesat dan menyesatkan, kental sekali muatan nafsu penipuannya.[5]

Kesesatan dan penyesatan yang meliputi bidang aqidah, akhlaq dan syari’ah serta persekongkolan gerakannya dengan rezim thaghut yang zhalim dalam melakukan kejahatan terhadap Islam dan kaum Muslimin, rahasia Abu Toto alias Abdus Salam Rasyidi nama yang sebenarnya dari tokoh yang bermain dalam gerakan yang mengatas-namakan NII dan KW-9 di balik nama AS Panji Gumilang dan Ma’had Al-Zaytun yang akan diungkap dan dibeberkan, insya Allah.

Secara substansial, kesesatan serta penyimpangan Abu Toto alias Abdus Salam Rasyidi dengan NII KW-9, sekarang NII Al-Zaytun ternyata adalah sama dan sebangun dengan kesesatan dan penyimpangan kelompok sempalan Islam Isa Bugis. Untuk itulah judul buku ini memilih nama: “Pesantren Al-Zaytun Sesat: Investigasi Mega Proyek dalam Gerakan NII” yang pada intinya bermuatan:

--Latar belakang Al Zaytun
--Aktor yang bermain dibelakang Al-Zaytun
--Siapa Abu Toto alias Abdus Salam alias AS Panji Gumilang, Syaikh Ma’had Al Zaytun.
--Daftar kesesatan dan kejahatan Abu Toto dan NII KW-9.
--Kesaksian-kesaksian dan hasil rekaman media massa.
--Keterkaitan dengan NII struktural maupun non struktural.
--Menimbang Aqidah, pemikiran, sikap dan tindakan Kartosuwiryo serta para pengikutnya maupun yang pernah terkait dengannya.
--Lampiran-lampiran.[6]

Pengungkapan tentang keterkaitan dengan NII pada akhirnya menjadi sesuatu hal yang memang harus dilakukan sampai tuntas, mengingat dari berbagai gerakan yang ada di Indonesia, dapat dikatakan hampir 60 persen senantiasa terkait atau pernah berkaitaan dengan apa yang namanya NII. Harapan yang lain nantinya adalah bisa menghindarkan ummat Islam terutama generasi muda, agar tidak terjerumus ke dalam ajaran-ajaran sesat dan menyesatkan. Tidak pula mengecualikan pihak-pihak yang berkompeten seperti MUI, Ormas-ormas Islam dan segenap kaum muslimin agar segera mengklarifikasi serta menuntaskan masalah dan permasalahan yang terkait dengan NII dan ajaran-ajaran NII Al-Zaytun pimpinan Abdus Salam AS Panji Gumilang alias Abu Toto.

Oleh karena dari NII banyak melahirkan sempalan atau faksi yang cukup banyak, maka mau tidak mau NII patut untuk dibedah secara tuntas, hingga menjadi jelas bagi semua pihak tentang:

--Siapa dan pihak mana yang sebenarnya memanfaatkan atau menunggangi NII?
--NII yang mana yang ditunggangi atau dimanfaatkan oleh berbagai pihak?
--Pihak mana saja yang pernah berkaitan dengan NII?
--NII yang mana yang tidak dan belum pernah dimanfaatkan oleh berbagai pihak? [7]

Sejujurnya, penulis sendiri pun sebetulnya juga mantan anggota kelompok sesat, [8] ketika masih berada dalam komunitas kelompok atau Jama’ah Imran yang lebih tenar dengan kasus Cicendo dan Woyla tahun 1981. Namun bersamaan dengan kesadaran dan berjalannya waktu, bi idznillah penulis berhenti, berlepas diri dan meninggalkan seluruh kaitan semua kekelompokan ini, baik yang yang masih terperangkap dengan budaya dan peradaban jahiliyyah maupun yang berusaha melepaskannya.

Karena itu, penulis pun sangat tahu diri dengan berbagai keterbatasan ilmu dan kemampuan penulisan. Kita memang tidak mungkin mampu mengukur keshalihan diri sendiri maupun orang lain, namun setidaknya yang bisa dan mampu kita lihat dan akui dengan sejujurnya adalah seberapa jauh dan banyak pelanggaran, penyimpangan ataupun kejahatan yang telah ditinggalkan, dan bukti yang kami ajukan bila telah melaksanakan kebaikan atas nama Islam.

Seluruh isi dan muatan tulisan ini insya Allah penulis pertanggung-jawabkan, kepada setiap pihak yang menghendaki klarifikasi ilmiyah dalam forum Iqamatul Hujjah.
Ucapan Jazakumullahu khairan dan terima kasih kepada semua ikhwan yang dengan senang hati memberikan bantuan serta dukungan bagi terselesaikannya penulisan maupun proses investigasi yang cukup melelahkan. Alhamdulillah, atas dukungan moral maupun intelektual serta fisik dari kalangan pergerakan, khususnya dari para mantan NII non KW-9 maupun NII KW-9 Abu TOTO, dan lebih khusus lagi dari kalangan yang bersedia untuk bersama-sama bertekad membubarkan gerakan bawah tanah NII Ma’had Al-Zaytun.
Demikian pendahuluan dari penulis yang faqir lagi dla’if, semoga hasil tulisan dan gerakan pemberantasan NII Al-Zaytun segera terwujud dan menang, semua pihak bisa mengambil manfaat, hikmah maupun i’tibar dengan baik dan benar. Penulis tetap berharap adanya masukan berupa kritik dan saran yang membangun dari pembaca yang budiman atas segala sesuatunya yang berkaitan dengan kekurangan tulisan ini.

“Mahasuci dan seraya memuji-Mu ya Allah,
aku bersaksi bahwa tidak ada ilah selain Engkau,
aku mohon ampunan dan bertaubat kepada-Mu.
Hasbunallah wani’mal wakil ni’mal maula wani’man nashir.
La hawla wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzhim.
Alhamdulillahi Rabbil’Alamin.”

Jakarta, Mei 2002

Umar Abduh
[1] Lihat Al-Qur’an Surat 71:3
[2] Pada edisi khusus ini beberapa bagian itu tidak disertakan.
[3] Sebagai wacana dan opini publik karya dan ide nyata Kartosoewirjo memang merupakan hal yang lumrah, dalam artian kondisi dan situasi saat itu memang mengharuskan ummat Islam melakukan gerakan yang seperti itu sebagai wujud nyata perlawanan terhadap kebathilan. Sayang, gerakan NII sama sekali tidak matang, sehingga yang terjadi adalah ‘prematurian’ di segala bidang.
[4] Ada kata-kata hikmah Arab yang menyebutkan: La syukra ‘alal wajib. Artinya: Tidak (perlu) ada ucapan terimakasih terhadap sesuatu yang wajib.
[5] Untuk lebih jelasnya baca MB Al-Zaytun, edisi III Maret dan edisi XII Desember 2000… Disebut penipuan, karena kalangan NII Al-Zaytun ini kalau dalam masalah keuangan selalu bersikap sangat bersemangat melkaukan peningkatan atau penggiatan, akan tetapi dalam masalah ‘ibadah, ternyata mereka malah meninggalkan.
[6] Pada edisi khusus ini ada beberapa bagian yang tidak disertakan.
[7] Ibid.
[8] Setiap kelompok ummat yang merasa ‘benar dan Islami’ namun langkah dan tindakannya tidak mengacu kepada petunjuk Allah dan Sunnah Nabi SAW sesungguhnya telah terjatuh ke dalam kesesatan. Karena salah dalam memahami dan melaksanakan bai’at, jama’ah dan daulah merupakan sikap ‘prematurianisme dan jahilian’ dalam melaksanakan amal Islam dan merupakan refleksi kebingungan dan ketidak-tahuan alias ketersesatan.
--