Jumat, September 09, 2005

Menguak Fakta NII AL Zaytun

Sumber : pikiran-rakyat

Pengantar

Harian Pikiran Rakyat 31 Agustus 2002 lalu memuat tulisan tentang Pesantren Al-Zaytun (halaman 20). Atas isi tulisan tersebut, Umar Abduh dari Solidaritas Ummat Islam Untuk Korban NII dan Aliran Sesat (SIKAT) datang menemui redaksi dan menyatakan keberatannya. Di bawah ini kami muatkan tanggapan atas tulisan tersebut dalam tiga judul, seutuhnya. Dengan pemuatan tulisan ini pula kami anggap polemik tentang Pesantren Al-Zaytun telah selesai. Terima kasih.

Redaksi

SEJARAH ma'had megah ini, demikian Umar Abduh, salah seorang peneliti kasus Al-Zaytun, "bermula dari Desa Sembung Anyar, kecamatan Dukun, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, tempat kelahiran Abu Toto, ata Abdul Salam Panji Gumilang, sang engineer Ma'had Al-Zaytun". "Kata engineer", lanjut Abduh, di lembaga SIKAT (Solidaritas Ummat Islam Untuk Korban NII dan Aliran Sesat red) "memiliki makna ngeri, makna lain kata engineer adalah tukang merekayasa yang buruk menjadi tampak baik dan yang sesat jadi seperti shaleh".

56 tahun yang lalu AS Panji Gumilang lahir, 3 tahun yang lalu BJ Habibie menyalaminya, karena 3 tahun yang lalu itu Ma'had Al-Zaytun lahir di Indramayu, Jawa Barat. Menemukan mata rantai yang menghubungkan berbagai peristiwa yang berjalan puluhan tahun bukan perkara mudah. Umar Abduh memerlukan waktu 2 tahun, itupun, seperti diakuinya, berhasil karena dukungan banyak fihak, termasuk para mantan korban gerakan sesat tersebut.

"Ma'had Al-Zaytun telah membelah perspektif", kata Abduh lagi, "satu yang melihat Al-Zaytun semata-mata sebagai ma'had, Al-Zaytun sangat bagus kata mereka, satunya lagi yang melihat Al-Zaytun sebagai ma'had sekaligus sebagai Ibu Kota NII Abu Toto, hubungan yang kedua ini yang rada sulit diterima." Kedua perspektif ini sekarang dikesankan berubah menjadi dua tebing yang dipisahkan oleh jurang yang dalam.

Mengambil posisi pada perspektif pertama, hanya semata melihat Ma'had Al-Zaytun sebagai lembaga pendidikan an sich, sebagai pesantren. "Pesantren spirit, but modern system", kata Panji gumilang berulang-ulang. Maka tampaklah keindahan di tengah hutan, cahaya di tengah gelap perkampungan menjadi sesuatu yang "Luar biasa!", kata seorang pengunjung sambil berdecak. Bangunan-bangunan megah berdiri kokoh, menara-menara masjid ditinggikan, masjidnya sendiri sudah ada dan berkapasitas 6000 jama'ah dan kini sedang dibangun masjid yang lebih besar untuk menampung jamaah 100.000 orang, seperti ingin lebih dari Istiqlal.

Di Al-Zaytun itulah kita temukan banyak hal yang mengagetkan. Jalan yang rata, pepohonan yang tertata, juga stadion olah raga yang ketika malam atlet tak perlu khawatir tersandung, karena lampu-lampu besar dapat menyala dengan daya besar. Di Al-Zaytun itu pula akan kita temukan para santri yang belajar ditambah disiplin yang mengingatkan kita pada Jepang.

Banyak harapan yang sepertinya akan mewujud lewat Al-Zaytun, termasuk harapan para orang tua berkantung tebal yang mengirimkan anak-anaknya ke Al-Zaytun. Di situ ada kebanggaan, di situ ada jaminan masa depan bagi anak-anak mereka. "Saya ingin anak ini shaleh, maka saya kirimkan ke Al-Zaytun", kata salah seorang ibu rumah tangga. Prestasi nilai ujian para santri segera pula menjadi pemberitaan di media massa.

Al-Zaytun, dalam kenyataannya, bukan sekadar ma'had, Al-Zaytun adalah sebuah kota yang megah di tengah perkampungan. Ada pernyataan fihak Al-Zaytun mengenai rencana jangka panjang untuk memberdayakan masyarakat miskin di sekitarnya, termasuk rencana pengembangan agrobisnis sebagai awalnya.

Rencana bagus yang wajar tentu akan didukung siapapun, termasuk putri mantan presiden Soeharto, Tutut Hardiyanti Indra Rukmana, yang pada 6 juni lalu datang ke Al-Zaytun untuk meletakkan batu pertama pembangunan gedung Jenderal Besar H. Muhammad Soeharto.

Pada perspektif lain, jauh dari lokasi berdirinya Ma'had Al-Zaytun, kita melihat maraknya berbagai pengajian, remaja, dewasa, sampai kakek nenek. Perkembangan baik kontra era materialisme, positif memang. Tapi seperti hal-hal manusiawi lainnya, perkembangan ini tak sepenuhnya menyenangkan, ada hal negatif menyusup di dalam yang positif. Ada penyimpangan yang, kata Abduh, membuat tanggal keimanan seseorang. Apakah itu?

Ya. Kita lihat saudara ini, (Abduh menunjuk seorang pemuda yang duduk di sebelahnya), dia tumbuh jadi remaja yang dibanggakan orang tuanya, disekolahkan ke kota, lalu bertemulah dengan berbagai pengajian, yang kelihatannya semua sama, tidak eksklusif. Dia jengah, dia perlu sebuah alternatif untuk mengisi kekosongan remaja dan untuk menemukan identitas dirinya. Dia mencari, dia menemukan. Akhirnya masuklah dia ke dalam pengajian yang dirasanya sangat spesial.

Di situ dia menemukan "Islam" yang sangat "toleran", termasuk dalam urusan ritual. Mau sholat, boleh. Tak mau sholat, boleh. Di situ dia menemukan berbagai "kemudahan". Puasa wajib bulan Ramadhan boleh dikompensasi senilai Rp 10.000,00 Kalau dorongan seks menguat dan terlanjur melakukan zina, dosanya bisa dihapus dengan shadaqoh sebesar Rp 200 ribu, itu jika pasangannya sesama "jemaah pengajian" (sesama anggota), kalau zina dengan pasangan dari luar "jemaah" tarif penghapusan dosa lebih murah, hanya seharga Rp 150 ribu. Bayar lunas, dosa bebas. Harga pendingin api neraka ini memang cukup terjangkau.

Tapi cara masuk ke dalam "jemaah pengajian" yang ternyata gerakan NII, memang aneh. Gerakan yang juga memiliki fiqih tersendiri, yang harus ditaati orang-orang yang mau memeluk "Islam". Dia harus beriman dulu kepada Allah, satu-satunya Pemimpin hidup manusia, beriman juga pada butir-butir rukun Iman lainnya, termasuk-dan dengan tekanan khusus-beriman kepada Alquran sebagai satu-satunya dasar hukum. Sampai di sini tidak ada masalah.

Berikutnya ada konsep "hijrah", artinya berpindah kewarganegaraan dari rakyat Republik Indonesia menjadi rakyat NII. Siapa presidennya? Di tahapan ini para "muallaf" dilarang mempertanyakannya. Yang penting hitung berapa banyak dosa yang pernah dilakukan, ini daftar harganya, tambahkan, maka jumlah seluruhnya akan menghapus seluruh dosa masa lalu. Bayar lunas atau tanda-tangani surat perjanjian pengunduran pembayaran. Tanpa proses ini seseorang tetap "kafir", sekalipun orangtua sendiri. Karena kafir, harta dan darah mereka pun jadi halal, boleh "diambil" tanpa izin. Jika berani begini, maka dia sah jadi "ummat".

Kini mulailah tahap "jihad", dan "jihad" terkecil adalah "dakwah" untuk memperbanyak "ummat", memperbanyak uang "hijrah". Jika jumlah rekrutmen terpenuhi, maka "ummat" ini akan diangkat sebagai mas'ul (aparat) tingkat desa. Selanjutnya seperti multilevel marketing, mas'ul desa yang berprestasi akan naik jabatan menjadi camat. Berprestasi lagi, jadi bupati, jadi residen, jadi gubernur. Tapi para gubernur tidak lantas berkesempatan jadi presiden, yang dalam gerakan ini juga disebut "Adam", karena di dalam "Islam" yang satu ini presiden sekaligus sebagai imam. Sedangkan imam dijabat seumur hidup. Imam inilah yang dianggap representasi sebagai hukum tertinggi, penafsir mutlak Alquran, kata-katanya haram dibantah. Siapa membantah berari bughot (pembangkang), dan halal dibunuh.

Banyak yang senang diawalnya, tapi kecewa berat di akhir kisah, bahkan ada yang gila. Mereka yang tak tahan terhadap tekanan ini, diantaranya karena harus mencuri harta ibu-bapak sendiri untuk memenuhi romiyah, target setoran bulanan, mereka inilah yang akhirnya buka suara. Makin hari makin banyak jumlahnya. Ancaman bughot tak lagi ditakuti, organisasi perhimpunan mereka pun bertambah.

Jumlah luar biasa dari orang-orang yang pernah sesat lalu bertobat ini, memang mengejutkan, kini lebih dari sepuluh ribu orang, kebanyakan di Jawa Barat dan Sumatra Utara. Sampel dalam jumlah sebesar ini membuat banyak peneliti menyimpulkan tidak mungkinnya sebuah konspirasi. "Apa mungkin mereka semua sepakat berbohong, padahal mereka ada di berbagai kota dan berbagai provinsi", tambah Abduh.

Amat mengejutkan, mereka memiliki paham yang sama, mengalami tekanan yang sama, istilah-istilah mereka pun sama, sebut saja satu diantaranya, "kahfi", ini istilah unntuk dihalalkannya berbohong kepada orang diluar kelompoknya. Mereka pun hanya menyebut satu nama gerakan yakni NII, hanya satu nama pimpinan yaitu Abu Toto. Ditanya siapa Abu Toto, mereka menjelaskan nama lain yaitu Abdus Salam Panji Gumilang (mereka biasa menyebutnya dengan ASPG), ternyata Abu Toto adalah nama komandan NII KW-9, sebelum dia menjadi imam/panglima tertinggi NII dengan nama ASPG. Karena banyak faksi NII, untuk membedakannya, lahirlah sebutan baru:NII Abu Toto.

Lebih mengejutkan lagi, mereka berani bersaksi dibawah sumpah bahwa ASPG adalah orang yang bergelar Syech Ma'had, adapun Ma'had yang dimaksud adalah Ma'had Al Zaytun. Mereka menghadirkan saksi-saksi yang terdiri dari mantan para petinggi yang bertemu langsung dengan ASPG, atau para mantan Tibmara (pasukan khusus ASPG), yang sudah terbiasa menyaksikan Syech Al Ma'had meminum minuman kesukaannya, "Wine Red" di Istana Negara yang juga Pesantren itu (Ma'had Al Zaytun).

Misteri tersebut mulai terkuak dua tahun yang lalu (2000), para mas'ul tingkat desa berbicara tentang romiyah. Dalam pengusutan lebih lanjut, ditemukan para qo'id ("bupati") yang juga berstatus bughot. Bersambung terus matarantai sampai pada ujungnya, yakni ASPG sang Syech. Romiyah itu ternyata angka-angka besar gabungan dari berbagai wilayah untuk dialirkan ke rekening sang syech atau langsung disetorkan kepadanya, untuk membangun Ma'had Al Zaytun dan untuk biaya peralihan kekuasaan dari pemerintah Republik Indonesia kepada NII Abu Toto, esok setelah persenjataan dianggap cukup.

"Empat tahun saya diperas untuk membangun negara impian iblis ini", kata Anto, seorang mantan pengikut NII Abu Toto. Selama itu dia meyakini NII Abu Toto adalah satu-satunya NII yang haq, yang lainnya NII bathil. Paham itu yang dia dapatkan lewat tilawah (istilah doktrinasi dalam NII Abu Toto), paham itu pula yang diajarkan kepada "ummat" lainnya.

Anto hanyalah satu dari sekian banyak mantan aparat "teriorial", sebutan untuk klaim wilayah NII Abu Toto, diluar Al Zaytun. Adapun mereka yang tinggal di luar Al Zaytun disebut aparat fungsional, karena mereka punya tugas khusus di "Madinah", kata sifat yang berarti "ibukota". Jabatan mereka berragam, sejak muwadhof (karyawan biasa), mudarris (pengajar atau dosen) sampai para menteri kabinet.

Kini aparat fungsional telah pula berkurang, dengan semakin banyaknya yang bughot. Di antara mereka telah keluar sedikitnya 68 mudarris (Sarjana Perrguruan Tinggi yang sebelumnya aktif di "teritorial"). Dari merekalah diketahui bahwa sepertiga jumlah santri Al Zaytun adalah anak-anak dari kalangan NII Abu Toto sendiri, dua pertiga lainnya adalah calon-calon "ummat" yang harus di-tilawah.

Dua orang mantan mudarris bidang studi Aqidah telah menandatangani pernyataan bermeterai bersedia didokumentasikan secara audio visual, bahkan siap suatu saat bicara di depan publik. Mereka bersaksi mengenai harapannya untuk menegakkan syariat Islam, yang justru runtuh di Al Zaytun. Mereka pun mengenang bagaimana pergulatan batin yang sulit diatasi, ketika harus mengajarkan para santri Al Zaytun, dengan strategi psikologi yang canggih dan laten (tersembunyi), paham mengenai tidak mungkinnya seorang Muslim beribadah kepada Allah SWT yang ghaib tanpa melalui "Allah yang dzahir". Bahwa "Allah yang dzahir" itu adalah pemimpin yang benar-benar mempresentasikan kepemimpinan berdasarkan Alquran dan oleh karena itu semua perintahnya wajib diimani sebagai kebenaran. Demikian di Ma'had Al Zaytun, berbeda di teritoiral. Kepada mereka yang telah menjadi "ummat" NII Abu Toto, secara terang-terangan diajarkan Alquran Surat Ali Imran ayat 19 yang selayaknya diartikan "sesungguhnya agama yang diridhai oleh Allah adalah Islam", diajarkan Panji Gumilang menjadi bahwa sesungguhnya negara yang diridhai oleh Allah adalah Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpinnya.

"Mari kita buktikan, berapa jumlah santri ma'had tersebut sebenarnya setelah fenomena eksodus besar-besar berlangsung sejak satu tahun terakhir. Perhatikan pula pengakuan para Mudarris tentang kurikulum double standard yang diterapkan Ma'had Al Zaytun, demikian pula tentang bagaimana modus yang diterapkan oleh Al Zaytun dalam menghadapi kedatangan para investigator Depag, MUI maupun Mabes Polri. Para mantan Tibmara dan Mudarris memberikan jaminan tentang ketidakmungkinan siapapun selain warga resmi Al Zaytun untuk bisa mengetahui berbagai kejanggalan yang terjadi dalam Ma'had, sekalipun mereka melakukan penelitian dan berjalan hingga 2 tahun, termasuk para dosen IPB yang diantar-jemput untuk mengajar mahasiswa P3T. Tentang shalat tanpa wudlu, tentang pornografi dan perselingkuhan seksual para santri serta narkoba, tentang shalat hanya bila ada tamu baik itu yang dilakukan oleh Panji Gumilang maupun para eksponen, karyawan dan satpam Ma'had, para saksi kami siap untuk membuktikannya", Ketua Dewan Penasihat SIKAT ini menandaskan.

Begitu berbelit memang, tapi mata rantai penghubungnya kini ditemukan. "Anda boleh mengatakan apapun tentang SIKAT, tapi coba buktikan, benarkah fakta dan data SIKAT ini hanya fitnah?", Abduh menantang. Lepas dari pro dan kontra, dia menuntut ditegakkannya disiplin ilmiah yang sehat, "Ujilah fakta dan data kami, baru bicara". ***