Wawancara dengan M Amin Djamaluddin Ketua LPPI
NII - MA’HAD AL-ZAYTUN SESAT MENYESATKAN
LPPI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam) Jakarta mengadakan penelitian tentang aliran NII (Negara Islam Indonesia) dan Ma’had Al-Zaytun, pesantren megah di Indramayu Jawa Barat yang merupakan proyek NII. Hasil penelitiannya itu kemudian diterbitkan LPPI dalam bentuk dua buku. Pertama ditulis oleh M Amin Djamaluddin berjudul Penyimpangan dan Kesesatan Ma’had Al-Zaytun (Tanggapan terhadap Majalah Bulanan Al-Zaytun) terbit Mei 2001M. Buku kedua ditulis oleh Umar Abduh berjudul Membongkar Gerakan Sesat NII di balik Pesantren Mewah Al-Zaytun, terbit Juni 2001M.
Untuk mengetahui ihwal itu maka mari kita simak wawancara dengan M Amin Djamaluddin ketua LPPI berikut ini:
-- Bagaimana tanggapan masyarakat atas diterbitkannya buku tentang sesatnya Ma’had Al-Zaytun oleh LPPI?
+ Orang-orang banyak yang menelepon kami, mereka menyambut terbitnya buku kecil berjudul Penyimpangan dan Kesesatan Ma’had Al-Zaytun (Tanggapan terhadap Majalah Bulanan Al-Zaytun). Yang setuju luar biasa banyaknya, dan ucapan jazakumullah atas terbitnya buku itu disampaikan. Mereka mengatakan, dicocokkan dengan majalah Al-Zaytun, ternyata tanggapan (yang membongkar kesesatan Al-Zaytun) ini benar. Ada juga dari Malaysia meminta agar dikirimi buku dua-duanya (buku tersebut dan buku Membongkar Gerakan Sesat NII di balik Pesantren Mewah Al-Zaytun), kemudian kami kirimi.
-- Kenapa mereka antusias menyambut hasil penelitian LPPI itu?
+ Kata mereka, selama ini tidak tahu kalau Al-Zaytun itu sesat.
-- Setelah tahu?
+ Akhirnya mereka tidak jadi memasukkan anaknya ke Ma’had Al-Zaytun.
-- Apakah ada yang datang ke LPPI?
+ Banyak. Ada yang dari Aceh, Makassar, bahkan ada tamu suami isteri datang ke LPPI dari Aceh dan kemudian mereka bercerita bahwa sebelumnya, sang isteri berkata: “Biar saya mati, saya sudah lega hati saya karena anak saya sudah diterima di Al-Zaytun.” Tetapi, tiba-tiba isteri itu berbalik 180 derajat. Ada apa ini? Kok tiga hari lalu rela mati, kini malah berbalik. Rupanya si isteri itu telah mendengar tentang sesatnya Al-Zaytun. Untuk mencari kebenaran berita itu, lalu suami isteri tersebut datang ke LPPI, minta penjelasan. Setelah dijelaskan, lalu mereka bisa memahami, sedangkan anaknya tak jadi dimasukkan ke Al-Zaytun.
Ada juga beberapa orang dari Batam datang ke LPPI, dan mereka pulang dari Al-Zaytun. Lalu mereka di LPPI berbicara dan membela Al-Zaytun dengan mengatakan “Kami tidak menemukan kesesatan dan penyimpangan di Al-Zaytun.” Lalu saya (Amien Djamaluddin) jawab: “Meneliti aliran sesat itu tidak seperti datang ke super market, begitu datang, ketemu apa yang dicari. Kalau yang bapak lakukan itu seperti datang ke super market. Itu bukan meneliti, jadi pantas kalau tidak bisa menemukan kesesatannya. Apalagi Al-Zaytun sudah tahu lebih dulu bahwa akan ada tamu yang akan datang, maka tentu Al-Zaytun sudah siap-siap akan menampakkan yang bagus-bagus.”
Setelah diberi tahu seperti ini, karena tamu LPPI dari Batam ini orang intelek, maka kemudian mereka bisa memahami jawaban kami (LPPI). Begitu juga tamu LPP yang datang dari Padang, mereka mengatakan hal yang sama. Setelah diberitahu, lalu mereka berkata, “Kenapa hal ini terlambat diberitahukan?” Lalu kami (LPPI) jawab, sebenarnya hanya terbitnya buku itu saja yang terlambat, sedang sikap kami sejak awal sudah menjelaskan tentang kesesatan Al-Zaytun itu kepada siapa saja yang bertanya. Bahkan pernah kami melabrak buletin terbitan Jakarta yang ikut-ikutan menyebarkan tentang hebatnya pesantren Al-Zaytun, tapi ternyata ketika kami tanyakan kepada mereka, mereka menjawab bahwa sebenarnya tidak tahu, dan hanya ikut-ikut apa yang dimuat di koran saja. Akhirnya mereka menyesali kesalahannya itu.
-- Apakah sebelumnya juga sudah ada korban-korban yang berkonsultasi ke LPPI?
+ Pasien LPPI tentang korban NII ataupun Al-Zaytun sudah cukup banyak. Di antaranya seorang pemuda Bekasi Jawa Barat, karena sudah tidak tahan membayar infaq untuk Al-Zaytun, untuk negara yang mereka janjikan, dan aneka pungutan lainnya, lalu ia lapor ke abangnya.
Maka abangnya mengatakan: “Kamu ini NII ya? Saya juga dulu begitu! Tapi setelah saya ketemu sama LPPI, maka saya keluar. Sekarang, kamu datanglah ke LPPI sana.”
Akhirnya dia datang berkali-kali ke LPPI, kemudian benar-benar ia keluar dari NII, setelah saya (Amin - LPPI) jelaskan bahwa saya masuk NII tahun 1971, dan dibai’at tahun 1975, dan saya tahu semua tentang ajaran NII itu, walaupun kelompok NII itu terpecah-pecah menjadi banyak kelompok.
Akhirnya, setelah anak muda itu keluar dari NII, maka didatangi oleh lurah NII dari Cileungsi Bogor. Maka dijawab, “Saya sudah keluar dari NII setelah saya bertemu dengan orang di LPPI.”
Lurah itu menjawab: “Tapi, kamu kan sudah janji, sedangkan janji itu wajib dibayar, maka biar pun sudah keluar, kamu tetap wajib membayar, karena sudah janji.”
“Ya, bagaimana saya harus bayar? Saya sudah tidak punya duit. Mau bayar pakai apa?”
Akhirnya lurah NII bertanya: “Apakah orang LPPI yang kamu temui itu dulu mantan NII?”
“Ya, mantan NII.”
“Berapa tahun?”
“Tiga puluh tahun, dari tahun 1971”.
Akhirnya lurah NII itu diam, karena baru 10 tahun masuk NII. Akhirnya, pemuda itu minta tabungannya yang di NII untuk diminta kembali, namun pihak NII tak mau mengembalikannya. Begitu juga sumbangan untuk Al-Zaytun diminta kembali, namun tidak dikembalikan juga. Karena sumbangan itu dengan iming-iming, kalau sudah punya anak, nanti sekolahnya gratis di Al-Zaytun. Dan pemuda itu masih bujangan. Jadi dia telah diminta paksa untuk infaq dan untuk pembangunan Al-Zaytun.
-- Kalau LPPI telah banyak yang menyetujui langkah-langkahnya dalam membongkar kesesatan NII – Ma’had Al-Zaytun, bagaimana pula orang-orang yang memprotes?
+ Dari pihak yang memprotes, ada yang menelepon LPPI dengan mengatakan, “Apa tujuan menerbitkan buku ini?”
“Saya jawab, ya baca saja itu buku, kan jelas itu, yang saya tulis di buku itu.”
Lalu pemrotes berkata, “Pak Amin tak tahu sih, visi dan misi Al-Zaytun.”
Saya jawab: “Ya sesat menyesatkan itulah visi dan misinya, seperti yang ditulis di buku itu. Lagian, kenapa sewot amat dengan buku kecil itu? Buku kecil itu saya cetak hanya 5.000 eksemplar, sedang majalah Al-Zaytun terbitnya tiap bulan 20.000 eksemplar. Jadi masih belum seimbang. Kenapa Anda sewot? LPPI ini alamatnya jelas. Kalau memang ada yang salah di buku yang kami tampilkan, ayo secara terbuka berdebat tentang sesatnya Al-Zaytun itu.”
Orang yang tak mau menyebutkan namanya itu tak bersedia untuk diadakan perdebatan.
--Apa kesesatan yang prinsip dari NII - Ma’had Al-Zaytun?
+ Masalah aqidah seperti dijelaskan di buku itu, dan juga masalah ibadah. Dan itu yang nampak di permukaan. Kesesatan aqidah contohnya menganggap Indonesia ini sama dengan Makkah diibaratkan dengan tong sampah: yang bagus ada, yang busuk juga ada. Karena Indonesia diibaratkan tong sampah yang isinya kotor, maka menurut mereka shalat di Indonesia sama dengan shalat di tempat yang kotor, maka tidak sah. Jadi tidak usah shalat. Karena kalau shalat berarti mencampurkan yang haq dengan yang batil, maka tidak sah. Maka shalat pun tidak sah dan tak ada gunanya. Dalil yang mereka gunakan, surat Al-Anfal ayat 35 artinya, “Shalat mereka di sekitar Baitullah itu lain tidak hanya siulan dan tepuk tangan, maka rasakanlah adzab disebabkan kekafiran itu.”
Menurut paham NII, karena umat Islam Indonesia berhukum RI (Republik Indonesia)/jahiliyah, yang segala macam ada, maka diibaratkan sebuah tempat sampah. Diibaratkan buah apel yang bagus, dimasukkan ke dalam tempat sampah yang bercampur segala macam. Lalu supaya apel di tempat sampah itu masih tetap baik/bagus, maka harus dipindahkan ke meja dan diberi tempat. Begitu pula kita harus hijrah (maksudnya pindah ke NII – Negara Islam Indonesia) agar tidak di tempat sampah.
Paham NII ini jelas bertentangan dengan hadits Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang menjelaskan bahwa ada keistimewaan Islam dibanding agama lain, di antaranya Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan bumi ini tempat sujud. Menurut hadits itu, berarti bumi Indonesia atau mana saja adalah sah untuk shalat. Kecuali ada najis, atau kotoran, atau tempat-tempat yang dilarang untuk shalat, misalnya kuburan. Jadi Islam membolehkan shalat di bumi ini. Apakah bumi Indonesia ini seluruhnya penuh kotoran dan najis, atau bahkan semuanya ini kuburan?
Di samping itu, menurut NII – termasuk Al-Zaytun, tujuan ibadah itu untuk melaksanakan hukum Islam di negara NII. Lalu mereka membuat skema, intinya: Makkah = Negara Republik Indonesia, tidak memakai hukum Islam, warganya kafir, maka biarpun shalat, zakat, puasa, tetap saja amalannya dihapus. NII mendasarkan pada Surat 47 ayat 8,9. Lalu mereka menganggap Madinah = Negara Islam Indonesia, memakai hukum Islam, warganya umat Islam, maka shalat, zakat, dan puasa diterima, dan suci kembali (bayi baru dilahirkan). NII mendasarkan pahamnya itu pada surat 47:2 dan hasilnya surga. Makanya Al-Zaytun itu mereka sebut Madinah.
Sebagaimana aliran-aliran sesat lainnya, biasanya memiliki sikap ekstrem. Demikian pula NII –termasuk pula Ma’had Al-Zaytun itu pahamnya berarti telah mengkafirkan muslimin seluruh Indonesia yang tidak mau masuk ke golongan mereka (NII). Dan juga menganggap selain golongan mereka itu masuk neraka, sedang yang masuk surga hanya kelompok NII. Itulah puncak kesesatannya. Maka paham sesat menyesatkan ini wajib diberantas. Kecuali apabila memang benar-benar mereka bertaubat dan kembali kepada Islam yang benar sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Sumber: Buku “Aliran dan Paham Sesat di Indonesia”, Hartono Ahmad Jaiz, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Februari 2002.
--