Senin, November 22, 2004

Al-Zaytun : Pesantren Qur'an-Hadits

Mengapa kamu tidak betah dan kabur dari Al-Zaytun ?
Hampir sama dengan Ridlwan, namun saya tidak pernah dicekik cuma pernah dipukul sama ustadz Saefuddin Ibrahim. Dia ustadz yang paling galak dan kejam, julukannya Malaikat.

Kamu pemah masuk ruang 130?
Pernah sekali, di situlah saya dipukul ustadz Ibrahim.

Bisa diceritakan proses pelarian Rizal dari ma'had Al-Zaytun?
Saya bersama Akbar sudah merencanakan pelarian sekitar satu minggu. Waktu itu semuanya sedang persiapan shalat Shubuh, saya dan Akbar sambil menunggu peluang di masjid, kebetulan saat itu turun hujan yang cukup lebat. Melalui samping tempat wudhu saya berdua mengendap-endap terus menyeberang dan menyelinap di antara gedung lantas berlari melalui sawah setelah sebelumnya melewati sungai yang sedang deras airnya.

Kami berdua terus berlari menuju arah selatan desa terdekat (desa Suka Slamet maksudnya, pen.), setelah melewati lapangan bola, akhirnya sampailah kami di ujung desa. Kami berdua dihampiri penduduk dan menanyakan keadaan kami, karena pakaian kami basah kuyup dan berlumpur. Lantas kami ditolong masyarakat desa tersebut dan dipinjami pakaian. Lalu disuruh membersihkan badan dan pakaian kotor kami. Setelah itu kami disuruh makan dan istirahat.

Siangnya setelah sholat Dzuhur, kami pamit akan pulang ke Sumedang ke rumah nenek. Dengan menumpang ojek kami berdua diantarkan menuju pangkalan angkot jurusan Sumedang. Saat kabur itu saya tidak bawa uang sama sekali, tetapi Akbar punya uang Rp 40.000.

Sampai di Sumedang sekitar waktu Ashar, di rumah nenek akhirnya kami berdua menginap sambil menghubungi keluarga Akbar di Jogya. Setelah dua hari menginap orangtua Akbar datang menjemput, sedangkan saya diantar pulang ke Tangerang oleh keluarga Nenek di Sumedang saat itu juga.

Sampai di rumah, Bapak saya marah-marah dan hendak mengembalikan saya ke Al-Zaytun. Tapi sebelumnya menghubungi lebih dulu melalui telepon ke sekretariatan ma'had Al-Zaytun, dan dijawab tidak bisa diterima lagi.

Bagaimana kamu merencanakan kabur dari Al-Zaytun?

Saya rencananya kabur bertiga, tapi Ridlwan tidak ikut. Kami bertiga sebelumnya mencari cara bisa kabur, tapi nggak ketahuan. Soalnya banyak santri-santri yang kabur, tapi ketahuan, akhirnya ditangkap keamanan Al-Zaytun (TIBMARA maksudnya, pen.). Lalu kami buat gambar dan arah untuk kabur. Paling aman pagi-pagi lewat belakang Masjid, langsung ke sawah dan tahu-tahu ketemu lapangan sepak bola yang seberangnya sudah rumah penduduk.

Penuturan orangtua Arrizal

Saat penulis melakukan investigasi ke rumah Rizal, hanya berbekal informasi yang sangat minim dari Ridlwan. Selain informasi tentang nama (Arrizal atau Rizal), informasi lain yang bisa diberikan Ridlwan hanya petunjuk singkat: samping Bank BNI Legok. Tangerang. Ternyata bukan BNI tetapi BRI.

Dengan izin Allah, Alhamdulillah kami diberi kemudahan secara tidak sengaja bertemu dengan Kades Kemuning, namun masih satu kecamatan, yang dengan suka hati membantu mencarikan alamat Rizal yang beralamatkan di desa Babakan. Melalui jasa Pak kades Kemuning inilah alamat tersebut ditemukan.

Di bawah ini penuturan orangtua Rizal kepada penulis sehubungan dengan proses pengunduran diri putranya dari ma'had Al-Zaytun.

Kami tadinya sangat berharap sekali pesantren seperti Al-Zaytun itu benar-benar pesantren Qur'an-Hadits dan kehidupan Islam dimulai dari situ, sehingga anak saya tidak saja menguasai bahasa Arab dan Inggris tapi juga bertanggung jawab dan benar dalam melaksanakan Islam ini. Namun anak saya ini setelah liburan semester kemarin tiba-tiba saja ngotot pengin keluar dan pindah ke sekolah biasa saja. Saya juga tidak mengerti sama sekali negatifnya Al-Zaytun, karena yang saya dengar masih baik-baik saja, dan yang saya dapatkan dari anak saya sendiri masih minim untuk bisa membuat penilaian tentang Al-Zaytun.

Walaupun memang kalau kita mau mendengar desas-desus, seperti ketika saya mengunjungi anak saya ada wali santri yang dari Surabaya Jawa Timur membisiki saya, itu lho malaikatnya, sambil menunjuk salah seorang ustadz yang bernama Ibrahim, katanya ustadz Ibrahim itu memang terkenal galak dan kejam.

Selain itu setelah 6 bulan belajar di tingkat persiapan (I'dadi) perkembangan penguasaan bahasanya ternyata belum menunjukkan ada perubahan. Di antaranya ketika saya tanyakan tentang pelajaran tarjamah Al-Qur'an, ternyata sama sekali belum diajarkan dan kalaupun anak ini bisa tetapi terjemahan yang verbal dan malah sepotong-sepotong, tidak mengesankan adanya diajarkan berdasarkan ilmu nahwu-sharaf dan yang semestinya gitu.

Dan ketika saya tanyakan apa yang diajarkan kepadamu tentang rukun-rukun shalat, anak saya sama sekali tidak menyebutkan soal wudhu, dan ketika hal itu saya tanyakan kembali anak saya malah menjawab, kita tidak diajarkan harus wudhu dulu sebelum shalat. Coba tanyakan sendiri kepada anak saya itu. Dan memang kalau saya sempat menginap di ma'had sana seingat saya Syaikh ma'had baru sekali ikut shalat berjama'ah di Masjid, selebihnya ketika saya tanyakan hal tersebut kepada Abi Abdus Salam (Wakil Syaikhul ma'had) kenapa Syaikh tidak kelihatan shalat berjama'ah, jawabnya Syaikh sedang sibuk.

Saat itu memang saya sempat berpikir, bagaimana ini kalau Syaikhnya saja ke Masjidnya cuman hari Jum'at saja, jadi tidak memberi contoh gitu. Demikian pula masalah keputusan, semuanya menunggu Syaikh, sepertinya kalau tidak ada Syaikh semua urusan tidak bisa diselesaikan. Sebagai contoh, ketika saya mengurus untuk mengeluarkan barang-barang anak saya, masa harus menunggu Syaikh. Sampai dua malam saya harus menginap di sana, baru setelah saya ngotot bersikeras dan menyerahkan seluruh dokumen administrasi anak saya kepada mereka, akhirnya baru diperbolehkan membawa barang-barang anak saya.

Dan memang kelihatannya masalah uang sepertinya selalu jadi persoalan, ya kalau seperti saya yang sedikit punya, masalah uang untuk ini uang untuk itu tidak masalah, tapi bagaimana bagi orangtua atau keluarga yang uangnya pas-pasan, menganggap Rp 13.500.000 sudah cukup dan tidak lagi akan dimintai uang ini uang itu pasti akhirnya kerepotan dan kebingungan.

Tapi bagaimanapun saya tetap bersyukur, barangkali keluarnya anak saya dari sana justru malah baik untuk kemudian harinya, artinya belum terlalu jauhlah anak saya, jadi ini seperti diselamatkan oleh Allah. Karena memang niat saya benar-benar ingin yang baik sebelumnya.

Pada kesempatan tersebut Rizal masih belum bersedia untuk ditanya, namun setelah penulis datang kembali dengan membawa serta Ridlwan, barulah Rizal bersedia menceritakan proses pelariannya dari ma'had Al-Zaytun, dan sempat direkam handycam.


Ibu Rahmah

Saya Sedih, Anak Saya Kini Berubah

Dari penuturan orangtua santri yang saat Iedul Adha 1421 H kemarin menyerahkan permintaan anaknya tentang kewajiban ber-Harakah Qurban dalam bentuk uang sebesar Rp 450.000 langsung ke ma'had Al-Zaytun, seakan melengkapi kesedihan dan keputus-asaannya atas keberadaan anaknya di ma'had Al-Zaytun yang makin banyak tuntutannya serta menjadi pemurung dan agak aneh.

Dituturkan dengan nada sedih dan keluh-kesah Ibu Rahmah menceritakan: 'Iedul Adha kemarin saya mengantarkan uang qurban anak saya untuk yang ketiga kalinya ke ma'had, berangkat subuh sampai di sana sekitar pukul 10 wib.

Setelah uang saya serahkan kepada panitia qurban di kesekretariatan Masjid Al-Hayat, barulah saya meminta izin kepada pihak ma'had untuk bertemu dengan anak saya.
Sempat beberapa lama saya menunggu sampai akhirnya saya mengingatkan kembali kepada petugas ma'had agar bisa segera bertemu dengan anak saya. Agak lama kemudian anak saya muncul dengan wajah lesu dan tanpa ekspresi kegembiraan atas kedatangan kami sekeluarga.

Saya pun langsung memeluk sambil menanyakan, bagaimana kabar dan segala sesuatunya, namun malah dijawab dengan pertanyaan yang sifatnya bernada menuntut tentang lambatnya pengiriman uang baik uang rutin maupun uang pengadaan mesin cuci yang baru dibayar separo (Rp 500.000 dari seharusnya Rp 1.000.000) dan berbagai tuntutan keuangan yang tidak terpenuhi.

Saya pun lantas bertanya, kamu ini ngomongnya kok duit melulu sih, baru saja kita bertemu. Saya sangat terkejut ketika anak saya memberikan jawaban: "Yang Ibu berikan ini sesungguhnya belum seberapa bila dibandingkan dengan yang saya terima dari syaikh ma'had, coba hitung berapa kebutuhan hidup di sini setiap bulannya, sementara ibu tidak pernah memikirkannya. Ini baru diminta uang sedikit saja sudah mengeluh dan keberatan."

Lantas dilanjutkan dengan memuji kebaikan syaikh ma'had yang tak bisa digambarkan, yang pada intinya meyakinkan kami keluarganya agar tidak berat hati untuk memenuhi setiap permintaan uang yang ditentukan oleh ma'had.

Kami sekeluarga menjadi termangu, ada apa ya, kok anak saya jadi begini. Tak lama kemudian datang waktu lohor, anak saya pun pamit dan menjanjikan ketemu lagi di masjid setelah pukul 14.00 sesudah makan. Kami pun menunggu sambil berjalan ke sekitar lingkungan ma'had, namun waktu itu kami tidak menyaksikan sama sekali adanya kegiatan penyembelihan qurban pada hari 'Iedul Adha saat itu. Setelah waktu menunjukkan pukul 14.00 kami pun ke masjid, kesana-kemari kami mencari anak tersebut namun belum juga kami temukan, dan baru sekitar hampir waktu Ashar kami dapati anak kami itu duduk termenung di tepi kolam dekat masjid Al-Hayat.

Kami panggil dia. Namun ia datang dan sama sekali tanpa ada semangat, akhirnya kami bujuk-bujuk agar tidak sedih dan kecewa setelah kami berjanji akan memperhatikan keperluan dan permintaannya maka barulah air muka anak saya agak sedikit cerah. Akhirnya kami pulang serasa diganduli dengan penuh pertanyaan yang menggumpal di kepala, sedang perasaan saya pun sebagai orangtua menjadi khawatir sekaligus tersayat-sayat.

Telah diapakan anak saya itu oleh ma'had Al-Zaytun, kenapa ia jadi tidak hormat kepada orangtuanya? Kenapa yang dibicarakan uang, uang dan uang ? Saya sedih dan berharap kiranya keadaan anak saya itu bisa ditolong atau diselamatkan. Dalam perjalanan pulang ternyata kami bertemu dengan orang tua yang senasib dengan kami.

Demikian cerita sekaligus harapan ibu Rahmah kepada Penulis saat diwawancarai pada tanggal 8 Februari 2001.

Dari cerita dan keluh-kesah orangtua salah satu santri di atas tentu tidak menutup kemungkinan adanya keluh-kesah serupa yang saat ini menggumpal dalam pikiran maupun perasaan dan hati masing-masing para orangtua santri. Namun sekedar keluh-kesah tentu tidak akan mengubah keadaan tersebut, terkecuali dengan upaya bersama menghadapi kemisteriusan pesantren yang di balik kemewahannya itu ada penyimpangan dan kesesatan, ada kejahatan dan kezhaliman yang luar biasa, yang dipersiapkan dan dijalankan secara sistematis dan terorganisir.

Bukan suatu prediksi yang berlebihan bila kesimpulan akhir menyatakan praktek program brain washing sesungguhnya telah dilancarkan sejak awal proses pembelajaran di ma'had Al-Zaytun hingga entah kapan berakhirnya, mungkin hal itu berjalan hingga sampai terlepasnya ikatan perasaan maupun ikatan nasab basyariyah antara anak dan orangtua serta keluarga. Na'udzubillahimmdzalik.