Selasa, April 26, 2005

Intelejen dan Gerakan Islam AL Zaytun

Intelejen dan Gerakan Islam

Merujuk kepada firman Allah dalam surah Al-An’am ayat 123 yang menyebutkan tentang berlakunya sunatullah atas rahasia setiap negeri, yang sepatutnya perlu diketahui serta diimani oleh mereka yang menyatakan beriman dan Islam, sehubungan dengan tanggung jawab mereka dalam menghadapi berbagai tantangan perjuangan untuk menegakkan Islam. Inventarisasi terhadap segala bentuk dan jenis tantangan yang harus dihadapi orang-orang yang beriman mau tidak mau harus dilakukan, sehingga konsentrasi perjuangan dan dakwah tidak akan pernah terbelah namun berjalan secara sinergis.
Di antara berbagai tantangan signifikan yang sangat perlu dan membutuhkan perhatian ekstra adalah sebagaimana yang firman Allah SWT sebagai berikut: “Dan demikianlah Kami jadikan dalam setiap negeri itu, para pembesarnya sebagai penjahatnya untuk melakukan rekayasa (makar) dalam negeri itu, namun rekayasa itu tidaklah akan menimpa melainkan kepada para pembesar itu, akan tetapi mereka tidak sadar.” (QS 6:123).
Yang kini menjadi pertanyaan adalah, mengapa dalam kurun waktu yang cukup panjang ini rekayasa jahat para pembesar di negeri ini belum berbalik menimpa mereka sebagaimana yang disebutkan ayat tersebut di atas? Mungkin karena kualitas dan kuantitas orang yang beriman dan beramal shaleh, ber-‘amar ma’ruf dan ber-nahi munkar, belum cukup signifikan di mata Allah, sehingga sunatullah di atas belum berlaku. Allahu a’lam.
Dalam realitas sejarah gerakan yang mengatasnamakan NII, sepertinya telah terjadi simbiosis-mutualis antara kelompok Muslim yang eksistensinya amat rentan setelah Kartosoewirjo tertangkap, dan dikalahkannya NII oleh rezim kuffar nasionalis sekuler Sukarno.
Keberadaan gerakan NII yang compang-camping secara lahir-batin tahun 1963-1968 telah masuk dalam program dan agenda tantangan bagi rezim militer kuffar Soeharto maupun rezim Sukarno. Sejak awal lahirnya Republik Pancasila, Islam sebenarnya sudah dipandang sebagai tantangan dan bahkan telah dianggap serta diperlakukan sebagai musuh oleh penguasa, dan diupayakan untuk dijadikan sebagai tantangan sekaligus musuh bangsa Indonesia.
Sejarah sebenarnya telah mencatat tentang kiprah permusuhan tersebut, terbukti dengan ditempatkannya orang-orang tertentu pada posisi-posisi strategis di setiap lini kekuasaan pada saat itu hingga saat ini yang keseluruhannya adalah anti Islam. Militer dengan rekayasa politik dan intelijennya hampir dapat dikatakan sepenuhnya menguasai medan maupun basis muslim tanpa terkecuali. Aksi-aksi intelijen dan perekayasaan itu sendiri sudah dimulai sejak beralihnya kekuasaan dari rezim sipil kepada rezim militer Soeharto. (1)
Terhitung sejak sekitar tahun 1968, militer sebenarnya sudah mulai menggarap melalui aksi rekayasa intelijen terhadap eksponen NII maupun program memecah belah kekuatan Muslim. Melalui komitmen mensukseskan pemilu 1971, Ali Murtopo melancarkan aksi “ulur tangan” kepada sisa-sisa lasykar NII. Tak disangka ternyata gayungpun ternyata bersambut, sebagian besar di antara sisa-sisa lasykar NII tersebut malah antusias untuk menyambut uluran Ali Murtopo, dan tidak diketahui niatan apa yang sesungguhnya ada di balik tangan para lasykar itu, ishlah atau istilah apa yang pantas untuk dijadikan alasan sebagai pengesahan atas hubungan baik tersebut.
Yang jelas hal tersebut berlanjut sampai tahun 1975, bahkan sisa-sisa lasykar NII akhirnya sampai percaya dan dengan sadar menerima ajakan Ali Murtopo(2) untuk melakukan konsolidasi kekuatan NII. Atas jaminan pribadi Danu Mohammad Hasan(3) yang selama ini telah bergabung dengan Ali Murtopo sudah sejak lama, lantas kemudian di lembaga formal BAKIN, namun dengan argumentasi “mempromosikan” Ali Moertopo, yang meyakinkan sudah dan siap untuk tobat serta kembali bergabung dengan Islam, dan berlanjut pula kepada upaya melawan kembali rezim militer kuffar dan dzhalim saat itu, serta untuk mengambil alih kekuasaan.
Kelemahan di seluruh segi yang dimiliki ummat islam, NII khususnya dijadikan sebagai ‘kelinci percobaan’ bagi operasi dan rekayasa politik/intelejen oleh rezim militer. Bila ini berhasil, maka untuk melawan kekuatan muslim di sektor lain pun pasti tidak akan mengalami kesulitan untuk diterapkan hal serupa.
Keberhasilan menjadikan pecundang terhadap para lasykar NII sejak tahun 1975 hingga sekarang tahun 2001, adalah merupakan bukti adanya kontrol penuh tangan militer-intelejen atas gerakan NII tersebut, dan seluruh rekayasa politik maupun intelijen militer boleh dikata semuanya sukses dan tak ada yang gagal satupun.
Apabila dirunut, masalah penyusupan infiltran intelejen militer ke dalam gerakan ummat Muslim Indonesia yang berlangsung semenjak Orde Baru di bawah Suharto dan Ali Moertopo, maka untuk yang pertama kalinya adalah melalui Danu Muhammad Hasan di tubuh NII yang akhirnya memunculkan kasus Komando Jihad di Jawa Timur tahun 1977. Bersamaan waktunya dengan itu Danu Muhammad Hasan menelusupkan pula infiltran intelejen militer Letda Suprapto Kasie SatGas Intel Kodam V Jaya ke dalam gerakan GPI melalui Zainuddin Qari’ sehingga berhasil memprovokasi sekaligus menggagalkan dan memberangus gerakan penentangan GPI terhadap P-4 dan Aliran Kepercayaan pada tahun 1978. Pada masa itu pula Danu Muhammad Hasan berhasil menjadikan Ateng Djaelani sebagai mitranya di dunia intelijen. Selanjutnya intelejen militer berhasil pula membina dan menyusupkan Hasan Bau ke dalam gerakan Warman, Abdullah Umar dan Farid tahun 1978-1979.
Tahun 1981 Bakin kembali menyusupkan anggota kehormatannya (Jenderal Kpral) Najamuddin ke dalam gerakan Jama’ah Imran melalui provokasi dengan menyerahkan setumpuk dokumen rahasia militer dan CSIS yang berisikan rencana jahat ABRI terhadap Islam dan ummat Islam, yang akhirnya memicu aksi perlawanan bersenjata, sehingga diantaranya terjadi penyerangan Polsek Cicendo, Bandung. Yang berlanjut dengan terjadinya pembajakan pesawat Garuda Woyla, yang sebelumnya kelompok ini berhasil menghabisi karir dan nyawa Najamuddin itu sendiri, yang tercatat resmi sebagai infiltran intelejen dan provokator dari BAKIN tersebut.(4)
Tahun 1983, Ali Moertopo mampus mendadak, setelah berhasil mengkader penerusnya, yaitu LB Moerdani. Proyek awal LB Moerdani yang diajukan kepada Suharto, Presiden RI saat itu, adalah menciptakan stimulus dan pra kondisi untuk segera diberlakukannya Asas Tunggal Pancasila yang banyak mendapatkan tantangan dan penolakan dari kalangan tokoh-tokoh Islam. Pancingan militer secara terang-terangan untuk menyulut kemarahan ummat dengan sikap kurang ajar dan tak terpuji dari aparat teritori militer yang mengguyurkan air comberan dan sengaja masuk ke dalam Mushalla tanpa melepaskan sepatu lars kotornya di samping mengumbar kalimat-kalimat jorok dan menantang ummat Islam, yang mengakibatkan dibakarnya motor aparat teritory tersebut.
Akhirnya berlanjut dengan drama pembantaian ummat Islam di Tanjung Priok (12 September 1984), diawali dengan penangkapan beberapa jama'ah oleh pihak aparat dan berlanjut dengan reaksi keras tokoh-tokoh PTDI dan tokoh masyarakat Tanjung Priok Amir Biki dengan menggelar tabligh akbar yang panas, namun diinginkan oleh rezim kuffar dan militer. Ummat Islam yang hanya bermodal semangat dan teriakan takbir menuntut pembebasan anggota jama’ah Mushalla yang ditahan aparat dihadapi dengan persiapan tempur penuh oleh rezim kuffar dan aparat militer, langsung dibawah komando Pangdam Jaya Mayjen Try Sutrisno dan Panglima ABRI Jenderal LB Moerdani. Momentum ini juga dimanfaatkan untuk menciduk serta memenjarakan banyak aktivis Islam melalui penyusupan kembali informan ke dalam tubuh para aktivis.
Tahun 1986 intelejen berhasil kembali menyusupkan intel sipilnya bernama Syahroni (mantan preman Blok M) ke dalam gerakan Usrah NII pimpinan Ibnu Thayyib yang kemudian menyebabkan lebih dari 15 orang NII masuk ke penjara. Tahun 1988, sekitar satu tahun menjelang diledakkannya kasus Cihedeung, Talangsari, Way Jepara, Lampung, Letkol. Hendropriyono yang masih bertugas di Jakarta, mempersiapkan proyek tersebut seraya berpesan kepada komunitas kelompok Jama’ah Imran agar jangan ada yang ikutan ke Lampung, karena dirinya telah diperintahkan untuk melibas tandas gerakan tersebut nantinya setelah menjadi Kolonel dan sebagai Komandan Korem Garuda Hitam, Lampung.(5)
Tahun 1986 pihak intelijen merekrut Prawoto alias Abu Toto yang sedang berada di Sabah, Malaysia, dan menyusupkannya kembali ke dalam gerakan LK (Lembaga Kerasulan) tahun 1987, yang saat itu dibawah kepemimpinan Abdul Karim Hasan, yang sebenarnya sudah menyatakan pisah dari NII kepemimpinan Adah Djaelani tahun 1983. Keberadaan Abu Toto mampu mempengaruhi dan meyakinkan Abdul Karim Hasan agar kembali kepada manhaj NII dan menggerogoti struktur kewilayahan NII.(6)
Masuknya kembali Abu Toto sejak tahun 1987 inilah yang akhirnya membuat percepatan terjadinya perpecahan dalam struktur NII secara besar besaran, drama dan sandiwara penangkapan kecil-kecilan oleh aparat teritory militer terhadap kelompok yang akhirnya menyebut diri sebagai NII KW-9 ini. Penangkapan terhadap kelompok ini secara agak serius terjadi tahun 1994 di Pandeglang yang melibatkan sekitar 800-an anggota NII.
Mereka ditangkap justru setelah menyatakan keluar dari kepemimpinan Abu Toto. Bahkan ketika mereka menyebutkan tentang peran dan ketokohan Abu Toto dalam struktur NII KW-9, Abu Toto tetap tidak tersentuh aparat. Demikian pula saat kepemimpinan NII KW-9 dipegang H. Ra’is Ahmad yang tertangkap tahun 1992 disaat melantik ratusan Mas’ul di kawasan Bekasi, ketika menyebutkan keterlibatan Abu Toto dalam struktur kepemimpinan NII KW-9 kepada aparat, ternyata hal itu sama sekali tidak ditanggapi oleh aparat militer yang menginterogasinya. Malah akhirnya H. Ra’is Ahmad yang mendekam dalam tahanan (tanpa sidang pengadilan) sampai tahun 1997.
Kedekatan Abu Toto dengan aparat teritory di Karesidenan Cirebon selanjutnya dapat menjadi bukti, betapa Komandan Korem, Kodim dan Bupati serta Koramil maupun Camat demikian dekat dan kondusif-kontributif kepada Abu Toto dan Ma’had Al-Zaytun, sampai-sampai acara pelepasan Dandim 0616 Indramayu Letkol H. Pranowo yang dimutasikan ke Kodam Siliwangi dan temu-ramah-mesra dengan Danrem Sunan Gunung Jati yang baru pun bisa diselenggarakan di Ma’had Al-Zaytun.(7) Bahkan akhir tahun 1999, ZA Maulani yang Ka BAKIN pun sampai ikut-ikutan membela Abu Toto dan Al-Zaytun, dengan menyarankan kepada Al-Chaidar agar mengurungkan penerbitan buku yang ditulisnya tentang “Sepak Terjang Abu Toto NII KW-9” dalam kesempatan pembicaraan yang sengaja dijadwalkan di Rumah Makan Sate Pancoran, Jakarta Selatan.
Memang pada tahun 1996-1998 gerakan intelejen militer memutar modus dan haluannya, dari represif terhadap Islam dan ummat Islam menjadi seakan toleran bahkan dikesankan sangat akomodatif. Padahal yang sesungguhnya terjadi adalah diterapkannya strategi dan jurus “menebar angin menuai badai” ke seluruh strata masyarakat. Gerakan intelijen militer yang ditebarkan ke segala arah, juga dalam rangka memberi kesan kepada publik tentang paradigma militer masa lalu yang sulit untuk dielakkan dari absurditas, otoritarian maupun kekejamannya terhadap rakyat.(8) Namun hampir bisa dipastikan tidak satu pun faksi NII struktural yang tidak ditunggangi oleh militer, intelejen dan kalangan politisi oportunis. Adapun tentang NII non-truktural sulit untuk membuktikan ketidak-terlibatan militer di dalamnya. Wallahu a’lam.

Catatan kaki:

(1) Hampir seluruh pengikut Kartosoewirjo menyerah kepada RI, bahkan mengakui bahwa sikap politik NII sebenarnya salah menurut syari’at, kecuali beberapa kelompok resimen seperti resimen pimpinan H. Ismail Pranoto, yang baru turun gunung setalah tahun 1964 bersama Kamil.

(2) Ali Moertopo mendekati kalangan sisa-sisa NII melalui program santunan dana rutin setiap bulan serta modal kerja, awalnya melalui Ibrahim Aji (mantan Pangdam Siliwangi dalam bentuk suntikan dana bagi pengelolaan Gapermigas khusus untuk Adah Djaelani. Namun untuk selanjutnya bantuan disalurkan lewat GUPPI dan GAPERMIGAS. Akhirnya jadilah mereka sebagai kontraktor atau penyalur minyak serta SPBU. Selanjutnya mereka diminta untuk mengkonsolidasikan kekuatan NII. Saat itu Ali Moertopo masih menjabat Aspri Presiden yang selanjutnya menjadi WaKa BAKIN dan merangkap Komandan OPSUS ketika mendekati detik-detik digelarnya ‘opera’ rekayasa intelejen dengan sandi Komando Jihad di Jawa Timur. Yang perlu diingat, pada saat yang bersamaan di tahun 1971-1973 Ali Moertopo juga melindungi sekaligus menggarap Nurhasan Ubaidah, Imam Islam Jama’ah yang secara kelembagaan dinyatakan sesat dan terlarang oleh Kejaksaan Agung, malah dipelihara serta diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk melanjutkan kiprahnya dalam menyesatkan ummat Islam melalui lembaga baru LEMKARI (Lembaga Karyawan Islam) di bawah naungan bendera Golkar yang kemudian berganti nama lagi menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) yang berlanjut hingga sekarang.

(3) Danu M. Hasan, Panglima Divisi TII/NII sewaktu menjadi saksi dalam persidangan Kartosoewirjo menyatakan bahwa perjuangan senjata dan proklamasi NII adalah langkah yang keliru dan salah. Tokoh ini akhirnya menjadi sahabat Ali Moertopo dan terakhir tercatat sebagai intelejen sipil BAKIN saat Ali Moertopo sebagai WaKa BAKIN. Kedekatannya dengan WaKa BAKIN inilah yang membuatnya dipercaya lidah maupun pikirannya oleh Adah Djaelani dkk terutama ketika Danu M. Hasan menceritakan kesungguhan Ali Moertopo terhadap Islam serta kesiapannya memasok persenjataan dari Libya sebanyak satu kapal melalui pantai selatan Jawa. Kolaborasi ini akhirnya diberi nama sandi Komando Jihad, awal tahun 1977. Di sisi lain Danu M. Hasan juga ikut bermain dalam kasus perlawanan GPI (Gerakan Pemuda Islam) menentang Aliran Kepercayaan, KNPI, P-4, dengan cara memasukkan seorang infiltran bernama Suprapto. Suprapto diajukan oleh Danu M. Hasan bersama salah seorang aktivis GPI bernama Zainuddin Qari’ yang diaku sebagai iparnya dan anak tokoh DI yang perlu diajak ikut berjuang bersama di GPI. Ternyata infiltran intelejen ini berpangkat Letnan dari Satgas Intelejen Kopkamtib Laksusda Jaya. Lihat buku A. Qadir Djaelani, “Pemuda Islam Menggugat”, 1982.

(4) Najamuddin pernah menunjukkan KTA BAKIN atas nama dirinya kepada penulis.

(5) Hendropriyono memberitahukan rencana proyek (kasus) Talangsari, Way Jepara, Lampung tersebut kepada keluarga komunitas Jama’ah Imran, keluarga Yaqob Ishak yang terhitung sebagai teman dekatnya di SMA. Karena rencana dan persiapan perlawanan ummat Islam di Lampung itu sudah diketahui dan sudah disiapkan (diantispasi) secara matang. Sayangnya, ketika masalah ini disampaikan kepada kelompok Jakarta, Nurhidayat dkk, mereka tidak menggubrisnya.

(6) Dari sumber terpercaya komunitas NII, yang kini aktif dalam Majelis Mujahidin.

(7) Baca Majalah Al-Zaytun Juni-Juli 2000, hal. 14.

(8) Peta medan maupun gerakan strategis intelejen militer sejak tahun 1996 s/d 2001 insya Allah dalam waktu dekat akan dibahas dalam buku tersendiri, agar buku ini tidak bergeser dan melebar dari topik, tujuan, kajian dan bahasan yang ditetapkan sebelumnya.

Sumber: Buku “Pesantren Al-Zaytun Sesat: Investigasi Mega Proyek dalam Gerakan NII” oleh Umar Abduh, Jakarta.

Intelejen dan Gerakan Islam (2/2)

Dari seluruh bentuk perlawanan ummat Muslim, baik yang dengan ataupun tanpa kekerasan, sesungguhnya tanpa terkecuali selalu dibawah kontrol dan provokasi intelejen militer. Kasus GPI, Woyla, Tanjung Priok, Lampung, Aceh, Mataram, Pam Swakarsa, Ambon dan Poso serta yang lainnya seperti perpecahan ormas dan partai Islam, keseluruhannya selalu melibatkan infiltran militer intelejen. Ini yang tidak pernah disadari oleh ummat Muslim Indonesia, hanya lantaran mereka mengaku sebagai militer hijau, atau militer yang selalu membawa nama dan suara serta jargon Islam. Juga, dengan cara memberikan sedikit santunan sekadarnya, tsamanan qalilan, yang bertujuan merusak dan melemahkan aqidah (iman) serta memecah-belah koordinasi antar tokoh Islam dan ummatnya, antar sesama tokoh Islam, maupun antar sesama ummat.
Kalaupun tidak dengan cara-cara tersebut di atas, maka bentuk rekayasa politik dan intelejen selalu memberi peluang dan kesempatan untuk memunculkan (memancing) terjadinya bentuk-bentuk perlawanan yang sporadis dari ummat Muslim, yang lantas dengan serta-merta dilibas dan digerus secara membabi-buta, tidak seimbang dengan tingkat “perlawanan” yang dilakukan.
Pada NII KW-9 Abu Toto (Abdus Salam) AS Panji Gumilang terdapat memiliki benang merah yang sangat kuat dengan NII Kartosoewirjo atau NII struktur Adah Djaelani. Karena pada dasarnya NII KW-9 Abu Toto adalah matarantai dari NII Kartosoewirjo, yang diproklamasikan pada 7 Agustus 1949. Walaupun secara kronologi, ada beberapa masalah yang timbul dalam perjalanannya, yang seakan hidup segan mati pun tak mau, sejak Alm. Kartosoewirjo ditangkap oleh Sukarno dan selanjutnya dieksekusi mati pada Agustus 1962, setelah melalui proses pengadilan militer yang sangat cepat dan singkat. Baru pada sekitar awal pertengahan tahun 1970-an, yang namanya NII mulai bangun dan langsung melakukan kolaborasi, kalau tidak mau atau keberatan jika disebut melakukan konspirasi dengan intelejen-militer rezim Orde Baru pimpin Soeharto, khususnya Ali Moertopo Laknatullah.
Sejak saat itulah NII struktural di bawah kepemimpinan Adah Djaelani Tirtapraja, mulai bergerak melakukan manuver rekruitmen melalui pembai’atan atas ummah, tanpa seleksi maupun ikhtiyari terhadap ihwal mad’u (objek rekruitmen), yang bid’ah, yang ambisius, yang materialistis, yang bodoh dan dungu maupun yang ulama’ dan intelek atau pun ahli ibadah di kalangan pengusaha, pejabat maupun masyarakat biasa, semua disama-ratakan (generalisasi).
Yang penting, bersedia di-bai’at dan menjadi warga NII, lantas diberi pangkat dan jabatan teritorial sebagai KW (Komandemen Wilayah) dan strata staff di bawahnya, KD (Komandemen Daerah, Bupati) dan strata staff di bawahnya, dan seterusnya. Yang untuk itu setelah di-bai’at dan diberi pangkat serta jabatan harus tha’at dan loyal, sekalipun tidak diberikan pembinaan dan pengajaran (tarbiyyah nadzhariyyah) ke-Islaman, tentang Tauhid dan ke-ikhlashan, tentang syari’ah dalam ‘ubudiyyah tentang akhlaqul karimah dan Tazkiyyatun Nafs.
Kelanjutan perjalanan NII struktural akhirnya bisa di tebak arahnya, dan karena ketiadaan pembinaan baik ruhiyah maupun intelektual dari para elit maupun staffnya, dan tiada pula uswah, keteladanan dari para pimpinannya dalam ber-NII (berjama’ah). Selain itu kolaborasi yang dijalin dengan Ali Moertopo, harus dibayar mahal. Karena sejak saat itu, rekayasa penjerumusan NII sebagai musuh laten negara, kesan pemberontak dan subversif sebagaimana kesan yang dibangun terhadap NII-Kartosoewirjo sejak dahulunya, mulai dijalankan Ali Moertopo melalui jalur intelejen militer maupun teritorial. Kesan itu akhirnya berhasil dikemas dalam proyek rekayasa pemberontakan (tindakan subversif) dengan nama sandi “Komando Jihad”.
Hanya dalam kurun waktu kurang dari tiga tahun, NII struktural berhasil merekrut sekitar hampir seribuan orang. Sekitar tahun 1975 terbentuk struktur komademen seluruh Jawa, dan semakin pesatlah perkembangan rekruitmen tersebut. Melalui rumor yang disebarkan NII, bahwa Libya akan memasok senjata kepada mujahidin NII, hal itupun akhirnya menggema sampai ke mana-mana. Rektuitmen secara bergerilya menciptakan suasana psikologis yang panas dan tegang di kalangan ummat. Apalagi sambutan ummat pun kala itu cukup antusias.
Ali Moertopo, hanya dengan ongkang-ongkang kaki, menunggu waktu yang tepat untuk memanen hasil benih yang ditebarkan berupa ide provokasi-agitatif tentang bahaya laten komunis, dan sedikit modal serta uang transport untuk para pentolan NII, dan membiarkannya bergerak melakukan konsolidasi organisasi.
Ali Moertopo yang memegang seluruh informasi, gerak-gerik dan langkah pemanfaatan kalangan NII untuk bergerak, bangkit mereorganisir diri tersebut, dalam satu genggamannya, menetapkan tanggal 7 Januari 1977, sebagai hari bersejarah bagi prestasi dirinya sendiri dalam menjalankan Komando Inteljen OPSUS, untuk meringkus seluruh jaringan “kelinci percobaan” dari proyek rekayasa pemberontakan NII dengan sandi “Komando Jihad” yang dibuat dan dijalinnya sendiri.
Liciknya, Ali Moertopo menyisakan beberapa pentolan yang ada di Jakarta dan Jawa Barat (seperti Adah Djaelani Tirtapraja, Aceng Kurnia, Ules Suja’i, Toha Mahfudz, Tahmid Rahmat Basuki, Saiful Iman, Opa Musthapa, Seno alias Basyar, Ahmad Husein Salikun, Djarul Alam dan lain lain), agar terus bergerak melakukan rekruitmen dalam kondisi dan status mereka yang “buron” tersebut. Bahkan pada masa “buron” tersebut, pengukuhan resmi dan pengangkatan Adah Djaelani Tirtapraja menjadi Imam/Presiden NII, justru terjadi.
Ali Moertopo memang sangat tahu dan paham, secara psikososial dan untuk menyulut emosi orang-orang macam Adah Djaelani dkk yang nantinya pasti justru makin bersemangat untuk melakukan perlawanan atau dalam melampiaskan kemarahan, kalau bisa mungkin akan melakukan pembalasan kepada dirinya dan ABRI, atas pengkhianatan dan jebakan yang telah ia jalankan tersebut.
Benar saja. Adah Djaelani dkk setelah mengukuhkan diri sebagai Presiden justru kemudian malah “ngumpet” dan berlindung dalam struktur KW-9 yang baru dibentuknya sendiri dan saat itu dipimpin oleh Seno alias Basyar. Setelah main petak umpet selama lebih kurang tiga tahun, KW-9 diringkus semuanya. Kecuali beberapa orang antara lain AS Panji Gumilang yang waktu itu ganti nama menjadi Prawoto alias Abdus Salam dan sempat melarikan diri ke negeri Sabah, Malaysia, sambil membawa kabur harta jama’ah.sebanyak Rp 2 Milliar.(9)
Pada tahun-tahun setelah pemberangusan NII dengan sandi “Komando Jihad” tahun 1977, hampir setiap tahun Ali Moertopo (Intelejen, ABRI) menangguk dan meringkus jaringan struktur NII yang dijalin dan dipeliharanya sendiri, sedikit demi sedikit. Tahun 1979-1980 dengan kasus teror Warman di Rajapolah, Tasikmalaya, Jawa Barat. Di Jawa Tengah, Abdullah Umar dengan perampokan gaji dosen UNS Solo (Universitas Sebelas maret). Di Jakarta, Adah Djaelani dkk dan elite KW-9 ditangkap Agustus tahun 1981, di Jawa Timur tahun 1982 ditangkap sebanyak 23 orang. Penangkapan berkala itu tidak pernah berhenti, hatta sampai ketika Ali Moertopo laknatullah tiba-tiba mampus mendadak.
Itu semua memang “proyek” ABRI yang sejak awal rezim Orde Baru eksis telah bermusuhan dengan NII serta Islam wal Muslimin, disamping untuk membangun opini bagi masyarakat, tentang pentingnya ketahanan Nasional, perlunya Asas Tunggal, betapa berbahayanya Islam fundamentalis serta segala macam gelar buruk dan menakutkan. Namun yang pasti adalah demi langgengnya kekuasaan dan posisi strategis mereka (Orde Baru) dalam struktur kemasyarakatan dan kenegaraan bangsa Indonesia.
Tahun 1984 sesaat setelah berhasil kaburnya Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir(10) ke Malaysia, gerakan Usrah-NII muda mulai diberangus, dimulai dari Solo dan Jogjakarta (Irfan Suryahardi Awwas(11) melalui kasus tabloid Ar-Risalah/Al-Ikhwan dan Ir. Syahirul Alim(12) dkk melalui kasus Pesantren Kilat), akhirnya meluas ke seluruh Jawa Tengah setelah bersamaan dengan meledaknya kasus Tanjung Priok (September 1984), Bom BCA (Oktober 1984), Bom Borobudur, Bom Gereja (sekolah seminari kristen) di Malang, serta Bom Bis Pemudi di Banyuwangi di penghujung tahun 1984. Itulah serangkaian keberhasilan Orde Baru di masa “kejayaan” Ali Moertopo laknatullah dan Benny Moerdani laknatullah dalam memposisikan ummat Islam untuk siap ke penjara dan atau dipenjarakan kapan saja mereka mau.
Seluruh aktivitas dan gerakan Islam seperti Abdul Qadir DJaelani dengan GPI-nya, Imran bin Zein dengan kasus Cicendo dan Woyla, Amir Biki dengan kasus Tanjung Priok, Nurhidayat dan Warsidi dengan kasus Talangsari (Lampung), Aceh maupun Ambon, dan yang lebih khususnya adalah NII, Komando Jihad serta Warman, sekali lagi perlu ditegaskan bahwa semuanya itu tak lepas dari cengkeraman dan genggaman intelejen/ABRI.
Jika pada masa kebangkitan kembali NII di bawah pimpinan Adah Djaelani dan seluruh jalur-jalur ke bawahnya, sangat dikuasai dan atau dalam genggaman intelejen/ABRI, maka apalagi yang mengaku NII pada masa kini! Logikanya adalah, jangankan NII yang tidak ada apa-apanya saat ini, NII di masa Kartosoewirjo saja tak mampu menolak kehadiran intelejen/TNI atau TRI, yang jaringan dan jalinannya kemudian membelit dan merusak citra TII, dengan sukses akhir berhasil meringkus pimpinan tertinggi NII Kartosoewirjo, dan menggiring sebagian besar pengikutnya bersujud ke pangkuan ibu pertiwi,(13) sampai dengan menanda tangani surat pernyataan pengakuan bersalah kepada TNI-RI, menyalahkan NII termasuk kepada Kartosoewirjo sang Imam.
Akan halnya perkembangan NII yang nyaris berjalan tanpa pembinaan Tarbiyyah Islamiyah di dalamnya, tentu saja hal tersebut menjadikan masing-masing ummat atau anggota NII merasa bebas untuk melakukan pencerahan ilmu dan amal. Munculnya secercah kesadaran ini saja telah membuat porak-poranda struktur NII, maka terjadilah kemudian apa yang namanya perpecahan dalam NII.
Di awali oleh sikap Muhammad Sobari dkk melepaskan diri dari struktur kepemimpinan Adah Djaelani, disusul oleh Helmi Aminuddin (putra Danu Muhammad Hasan intelejen sipil binaan Ali Moertopo) yang kemudian bergabung dan menjadi agen gerakan Ikhwanul Muslimin qiyadah Sa’id Hawwa’ yang ketika itu bermukim di Iraq. Sedangkan Haji Karim Hasan dan kawan-kawan mengambil sikap dan jalan yang berlainan pula.
Dari perpecahan itu akhirnya masing-masing kubu berjalan saling menolak, bahkan menafikan. Pak M. Sobari berkiprah melalui aktivitas dakwah dan akhirnya memiliki komunitas kelembagaan bernama Thoriquna. Sedangkan Helmi Aminuddin berkiprah dengan manhaj Tarbiyah Ikhwanul Muslimin.
Haji Abdul Karim Hasan menempuh jalan lain melalui aqidah (paham) yang sesat dan menyimpang, yaitu aliran Isa Bugis, akhirnya berhasil membangun komunitas LK (Lembaga Kerasulan) yang kemudian menjadi NII KW-9 atau NII Abu Toto. Akhirnya Abu Toto menjadi Imam NII faksi Adah Djaelani Tirtapraja setelah menerima posisi jabatan Imamah dalam NII atas penyerahan Adah Djaelani. Sejarah NII struktural (sabilillah) pun akhirnya kembali terpecah, namun komposisi penguasaan lapangan, tercatat NII Abu Toto Abdus Salam AS Panji Gumilang boleh dibilang lebih menonjol (mayoritas) dibanding faksi lainnya.

Catatan kaki:

(9) Baca juga pengakuan Bapak Mohammad Soebari paba Bab II.

(10) Ustadz Abu Bakar Ba’asyir kini Ketua AHWA (Ahlul Halli wal Aqdi) Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

(11) Irfan Suryahardy Awwas kini Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

(12) Kini Aktivis Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).

(13) Untuk lebih jelasnya silakan baca pengantar buku Al Chaidar “Sepak Terjang KW-9 Abu Toto,” yang ditulis oleh Mufry.

Sumber: Buku “Pesantren Al-Zaytun Sesat: Investigasi Mega Proyek dalam Gerakan NII” oleh Umar Abduh, Jakarta.