Minggu, Juni 05, 2005

HANYA A.S. PANJI GUMILANG AL ZAYTUN PIMPINAN SAH NII/DI/TII "BONEKA/BUATAN" TNI/ABRI

http://www.dataphone.se/~ahmad/050601a.htm

Stockholm, 1 Juni 2005
Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Assalamu'alaikum wr wbr.

RIFANI, ITU NII IMAM SM KARTOSOEWIRJO DIDUDUKI & DIJAJAH OLEH RI SOEKARNO SAMPAI DETIK INI

Ahmad Sudirman

Stockholm - SWEDIA.

RIFANI AFWAN, ITU NII IMAM SM KARTOSOEWIRJO DIDUDUKI & DIJAJAH OLEH RI SOEKARNO SAMPAI DETIK INI

"Pak Ahmad, sebenarnya perjuangan Indonesia (kemerdekaan) ini punya koneksi ga dengan penegakan Islam di Indonesia. Kok sepertinya paralel (tidak ada hubungannya). Mohon maaf karena pengetahuan saya cetek dan hanya berdasar yang saya dapat dari versi NKRI. Sukarno itu siapa? ada hubungan dengan pergerakan Islam apa tidak? Terus kalau saya lihat ada banyak gerakan seperti DI, N11, IJ dan lain-lain termasuk yang akhirnya ditunggangi oleh penguasa seperti Kasus Woyla (sepengetahuan saya).” (Rifani Afwan , maintenance.arutmin@ciptakridatama.co.id , 1 juni 2005 05:23:13)

Baiklah saudara Rifani Afwan di Jakarta, Indonesia.

Sebenarnya masalah diproklamasikannya Negara RI dan penegakkan Islam di Indonesia tidak ada hubungannya. Jadi, memang benar apa yang saudara Rifani katakan bahwa tidak ada hubungan antara perjuangan kemerdekaan RI dengan penegakkan Islam di Indonesia.

Dan masalah kronologis jalur pertumbuhan Negara RI dihubungkan dengan NII Imam SM Kartosoewirjo di Jawa barat, NII di Acheh, dan siapa itu Soekarno, itu semuanya telah dikupas di mimbar bebas ini. Dimana saudara Rifani bisa melihatnya di www.dataphone.se/~ahmad/opini.htm . Diantaranya dalam tulisan ” Suwarto takut baca kejahatan Soekarno dengan RI atau RI-Jawa-Yogya-nya masuk RIS dan menelan Negara Bagian RIS” ( http://www.dataphone.se/~ahmad/040224.htm )

Memang Negara RI dibangun dan didasarkan bukan kepada Islam. Negara RI dibangun dan didasarkan kepada hasil olahan ideologi-ideologi yang ada di dunia kemudian dicampuradukkan dan diperas khususnya oleh Soekarno sehingga melahirkan apa yang dinamakan dengan pancasila.

Nah, melihat dari sudut ini saja sudah bisa membukakan mata bahwa berdirinya Negara RI bukan didasarkan kepada dasar Islam dan bukan didasarkan kepada adanya penegakkan Islam di Indonesia.

Adapun tentang Soekarno memang ia seorang sekularis dan ia adalah orang yang keras menentang berdirinya Negara diatas landasan Islam. Dan ia satu-satunya Presiden yang secara terang-terangan menolak Islam dijadikan dasar Negara, sebagaimana yang ditunjukkannya ketika dideklarkannya Dekrit Presiden 5 juli 1959. Tentang masalah latar belakang keluarnya Dekrit Presiden 5 juli 1959, bisa saudara Rifani membaca salah satunya tulisan ”Sudah 54 tahun Acheh diduduki & dijajah RI” ( http://www.dataphone.se/~ahmad/040817a.htm ) dan dalam tulisan ”Aneuk Acheh, itu mbah Soekarno bukan otak revolusi sosial melainkan otak pendewaan pimpinan” ( http://www.dataphone.se/~ahmad/050425a.htm )

Kemudian, menyinggung masalah berdirinya Negara Islam Indonesia dan Darul Islam dibawah Imam SM Kartosoewirjo, itu tidak ada hubungannya dengan berdirinya Negara RI oleh Soekarno. Bahkan sebaliknya, itu Negara Islam Indonesia SM Kartosoewirjo yang diproklamasikan pada 12 Syawal 1368 / 7 Agustus 1949 diwilayah yang berada diluar wilayah de-facto dan de-jure RI. Dimana wilayah de-facto dan de-jure RI pada waktu itu hanya di Yogyakarta dan sekitarnya saja, menurut hasil Perjanjian Renville 17 Januari 1948. Kemudian itu wilayah teritorial NII sampai detik ini diduduki dan dijajah oleh RI dengan TNI-nya.

Dibawah ini akan dijelaskan tentang Negara Islam Indonesia dibawah Pimpinan Imam SM Kartosoewirjo. Dan yang menjadi pertanyaan sekarang adalah, benarkah kedaulatan NII Imam SM kartosoewirjo hilang dan lenyap sejak tahun 1962 ?

Berdasarkan fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum NII, dari sejak Imam NII Sekar Madji Kartosoewirjo tertangkap 4 Juni 1962 dan sebagian pengurus NII (32 orang) menyerah pada Soekarno pada tanggal 1 Agustus 1962, tetapi di dalam NII masih tetap berlaku Kanun Azasy, undang undang masa perang, walaupun Imam SM Kartoseowirjo tertangkap, dan Imam NII baru belum dipilih.

Menurut fakta dan bukti yang ada menunjukkan bahwa alm Abdul Fattah Wirananggapati yang dibai'at langsung oleh Imam awal SM Kartosoewirjo dan tertangkap di Jakarta sekembali memba'iat Teungku Muhammad Daud Beureueh pada tanggal 20 september 1953, dan diasingkan ke Nusakambangan. Lalu pada tahun 1963 dibebaskan setelah Soekarno mengeluarkan amnesti abolisi tahun 1961. Tetapi pada tahun 1975 ditangkap kembali oleh pihak RI dan dibebaskan tahun 1983. Diangkat sebagai Imam NII penerus Imam NII SM Kartosoewirjo pada tahun 1987 berdasarkan Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959. (Idarul Mahdi Saefullah (alm Abdul Fattah Wirananggapati), Attibyan 13 Mei 1987, Eksekutif Sentral Daulah Islam Indonesia Bidang Publikasi Ummat
(Eksen Disina) 17 Ramadlan 1407 H /15 Mei 1987 M.)

Disamping itu dari apa yang ada dalam Attibyan yang ditulis oleh alm Abdul Fattah Wirananggapati dan yang dibenarkan oleh saudara Mufry dalam tulisannya yang berjudul TABTAPENII DATANG (Tanya Jawab Estapeta Pemimpin Negara Islam Indonesia Dalam Darurat Perang), Jakarta, 13 Dzulqodah 1417 H., 23 Maret 1997 M, ternyata data-data dalam ikrar bersama itu memang benar. (”Rakyat NKA: Tanya Jawab Estapeta Pemimpin NII dalam Darurat Perang”, http://www.dataphone.se/~ahmad/020914a.htm )

Ketika Ahmad Sudirman membaca tentang Pedoman Darma bakti dan MKT No.11 tahun 1959 dinyatakan bahwa "K.P.S.I.dipimpin langsung oleh Imam Plm.T. APN.II.jika karena satu dan lain hal, ia berhalangan menunaikan tugasnya, maka ditunjuk dan diangkatnyalah seorang Panglima Perang, selaku penggantinya, dengan purbawisesa penuh."

"Calon pengganti Panglima Perang Pusat ini diambil dari dan diatara Anggauta- Anggauta K.T., termasuk didalamnya k.S.U. dan K.U.K.T., atau dari dan diantara para Panglima Perang, yang kedudukannya dianggap setaraf dengan kedudukan Anggauta-Anggauta K.T."

Jadi, itu calon pengganti Panglima Perang Pusat yang tercantum dalam MKT No.11 di atas itu, setelah Imam (awal) berhalangan, tinggal satu lagi yaitu K.U.K.T (Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi), karena yang lainnya sebagian sudah gugur dan sebagian lagi telah meninggalkan tugasnya atau desersi dari NII.

Nah, disebabkan calon pengganti Imam yang tercantum dalam undang-undang itu tinggal satu lagi yakni K.U.K.T., maka KUKT itulah yang langsung menjadi Imam tanpa adanya pemilihan dari manapun. Hal itu bukan saja karena calonnya tinggal satu lagi, melainkan juga karena undang - undang sebelumnya, mengenai pemilihan Imam dalam Darurat Perang sudah dituangkan kedalam MKT No.11.tahun 1959. Dengan demikian sekalipun dalam keadaan darurat sehingga Dewan Imamah tidak berfungsi karena anggautanya banyak yang gugur, maka penggantian Imam tetap berlangsung. K.U.K.T. yang satu itu ialah alm Abdul Fatah Wirananggapati.

Jadi menurut fakta dan bukti yang ada menyatakan bahwa bahwa dari sejak tahun 1962 sampai tahun 1987 NII tidak dijaharkan dengan alasan,

Pertama, melanggar wasiat Imam pertama SM Kartosoewirjo, yaitu jangan dijaharkan.

Kedua, mereka (sebanyak 32 orang) yang telah menyerah kepada pihak Soekarno pada tanggal 1 Agustus 1962 dengan menyatakan ikrar bersama, yang isinya Demi Allah setia kepada Pemerintah RI dan tunduk kepada UUD RI 1945. Setia kepada Manifesto Politik RI, Usdek, Djarek yang telah menjadi garis besar haluan politik Negara RI. Sanggup menyerahkan tenaga dan pikiran kami guna membantu Pemerintah RI CQ alat-alat Negara RI. Selalu berusaha menjadi warga Negara RI yang taat baik dan berguna dengan dijiwai Pantja Sila.

Jadi, sehubungan ada dari salah seorang staf NII Adah Djaelani Tirtapradja bersama Danu Mohamad Hasan, Ateng Djaelani Setiawan, yang mana mereka bertiga telah menyerah dan berikrar kepada pihak Soekarno pada 1 Agustus 1962, menyatakan sebagai pemimpin NII dengan membentuk susunan personalia aparatur NII pada tahun 1978 dan berlangsung sampai tahun 1987, maka dinyatakan bahwa susunan personalia aparaturan NII yang dibuat mereka dianggap tidak sah dan akan ditinjau kembali oleh yang bertanggung jawab dan berhak melakukannya berdasarkan ketentuan Undang Undang NII 1949 secara keseluruhan. (Idarul Mahdi Saefullah (Abdul Fattah Wirananggapati), Attibyan 13 Mei 1987, Eksekutif Sentral Daulah Islam Indonesia Bidang Publikasi Ummat (Eksen Disina) 17 Ramadlan 1407 H /15 Mei 1987 M, hal. 29).

Selanjutnya siapa yang berhak menurut Kanun Azasy NII yang meneruskan Pemerintahan NII selepas Imam NII SM Kartosoewirjo tertangkap 4 Juni 1962 ?.

Menurut Kanun Azasy NII dicantumkan, bahwa berdasarkan

Pasal 3.

1. Kekuasaan jang tertinggi membuat hukum, dalam Negara Islam Indonesia, ialah Madjlis Sjuro (Parlemen).

2.Djika keadaan memaksa, hak Madjlis Sjuro boleh beralih kepada Imam dan Dewan Imamah.

Nah, NII dari sejak diproklamasikan sampai Imam SM Kartosoewirjo tertangkap tanggal 4 Juni 1962, dalam keadaan darurat perang, Madjlis Sjuro belum dibentuk, maka menurut Kanun Azasy NII pasal 3 ayat 2, hak Madjlis Sjuro boleh beralih kepada Imam dan Dewan Imamah.

Jadi, berdasarkan dasar konstitusi inilah setiap orang yang ingin meneruskan NII Imam Kartosoewirjo harus berpijak.

Dimana hak yang dilimpahkan oleh Madjlis Sjuro kepada Imam dan Dewan Imamah adalah hak membentuk Undang-undang, Peraturan-peraturan, Maklumat, Straf Recht, Pedoman-pedoman. Misalnya, dalam mengangkat seseorang untuk menjadi Imam atau Panglima Tertinggi NII telah ditentukan dalam Pedoman Dharma Bakti (PBD) - Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959.

Pedoman Dharma Bakti - Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959 merupakan produk undang undang, hasil daripada NII berada dalam keadaan darurat perang, dimana Kanun Azasy pasal 12 ayat 2 "Imam dipilih oleh Madjlis Sjuro dengan suara paling sedikit 2/3 daripada seluruh anggauta" tidak bisa dilaksanakan.

Menurut Pedoman Dharma Bakti - Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959, yaitu Pimpinan KPSI (Komando Perang Seluruh Indonesia) dipimpin oleh Imam/Panglima Tertinggi. Bila satu dan lain hal ia berhalangan sehingga oleh karenanya ia tidak dapat melaksanakan tugasnya, maka diangkatnyalah seorang Imam/Panglima Tertinggi selaku penggantinya dengan purbawisesa penuh Calon pengganti Imam/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Negara Islam Indonesia itu diambil dari dan diantara:

-Anggota Komandemen Tertinggi (AKT)
-Kepala Staf Umum (KSU)
-Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi (KUKT)

(Idarul Mahdi Saefullah (Abdul Fattah Wirananggapati), Attibyan 13 Mei 1987, Eksekutif Sentral Daulah Islam Indonesia Bidang Publikasi Ummat (Eksen Disina) 17 Ramadlan 1407 H /15 Mei 1987 M, hal. 17)

Jadi, Imam NII harus dipilih menurut Pedoman Dharma Bakti – Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959.

Setelah Imam NII SM Kartosoewirjo tertangkap 4 Juni 1962, perlu diangkat Imam NII baru. Karena Anggota Komandemen Tertinggi (AKT) dan Kepala Staf Umum (KSU) sudah gugur dan yang lainnya telah meninggalkan tugasnya atau menyerah, maka yang tinggal Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi (KUKT). Dimana satu-satunya Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi (KUKT), yaitu alm Abdul Fattah Wirananggapati.

Sedangkan Ateng Djaelani Setiawan, H.Zainal Abidin, Adah Djaelani Tirtapradja, dan Atjeng Abdullah Mudjahid alias Atjeng Kurnia telah menyerah kepada pihak Soekarno.

Sebagaimana yang telah disinggung diatas bahwa alm Abdul Fattah Wirananggapati menjadi Imam NII dari tahun 1987 sampai tahun 1997.

Kemudian Imam NII pengganti alm Abdul Fattah Wirananggapati, sejak 8 Ramadhan 1417 H (18 Januari 1997), yaitu Ali Mahfuzh, berdasarkan MKT. No.5 Tahun 1997.

Setelah dilakukan peninjauan tentang status NII dari sejak 1962 sampai 1987 oleh yang bertanggung jawab dan berhak melakukannya berdasarkan ketentuan Undang Undang NII 1949 secara keseluruhan, dalam hal ini oleh Abdul Fatah Wirananggapati, maka status NII dari sejak tahun 1987, yaitu dari sejak alm Abdul Fattah Wirananggapati menjadi Imam NII, telah dinyatakan secara terbuka. Karena itu status NII SM Kartosoewirjo secara de-jure telah wujud dan secara de-facto wilayah kekuasaan NII berada dibawah penjajah RI.

Sekarang, kalau memang masih ada kelompok NII lain, misalnya seperti NII yang dipimpin oleh Adah Djaelani Tirtapradja, jelas itu NII sudah dianggap tidak sah, ditinjau dari dasar hukum Kanun Azasy NII dan Pedoman Dharma Bakti - Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959.

Jadi berdasarkan fakta, bukti, sejarah dan dasar hukum diatas membuktikan bahwa Pemerintah NII secara de-jure masih ada dan secara de-facto wilayah NII sedang diduduki dan dijajah pihak RI.

Kemudian Pemerintah NII secara de-jure masih wujud dilihat dari faktual dari sejak 7 Agustus 1949 sampai 4 Juni 1962, itu NII merupakan satu Negara yang syah dan berdaulat, tanpa dijajah.

Begitu juga dari sejak 5 Juni 1962 sampai 1987 NII secara hukum masih wujud, tetapi secara faktual dalam bentuk wilayah kekuasaan NII berada dalam pendudukan dan penjajahan pihak RI. Mengapa ?

Karena fakta dijatuhinya hukuman mati Imam NII dan menyerahnya 32 pimpinan NII 1 Agustus 1962, tidak berarti NII sebagai satu lembaga Kenegaraan lenyap, melainkan yang lenyap hanyalah individu-individu pelaksana NII yang sewaktu menyerah tidak membawa nama atau atas nama lembaga kenegaraan NII.

Disamping itu ketika Imam NII SM Kartosoewirjo diajukan ke muka Mahkamah Angkatan Darat dalam keadaan perang untuk Jawa-Madura pada tanggal 14 Agustus 1962 dan dijatuhi hukuman mati pada 16 Agustus 1962, itu Imam NII tidak diperlakukan sebagai Imam NII, melainkan dianggap sebagai pemberontak.

Memang dipandang dari kacamata pihak musuh NII dalam hal ini pihak pemerintah RI tidak mengakui eksistensi NII baik secara de-jure maupun secara de-facto. Karena itu Imam NII dianggap sebagai pemberontak. Tetapi status Imam NII dianggap sebagai pemberontak oleh pihak RI tidak menyebabkan NII sebagai lembaga Negara menjadi hilang.

Dilihat dari sudut NII, jelas lembaga negara NII masih tetap eksis baik secara de-jure ataupun secara de-facto, hanya wilayah kekuasaan NII secara de-facto berada dibawah pendudukan dan penjajahan RI.

Setelah Imam NII dihukum mati dan sebagian besar pelaksana NII menyerah, maka siapapun yang akan menjadi pelanjut ekstafet kepemimpinan NII harus berpegang kepada konstitusi NII dalam hal ini Kanun Azazy NII dan dasar-dasar hukum NII lainnya seperti Pedoman Dharma Bakti – Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959.

Sekarang, kalau ada yang melakukan pembentukan kepengurusan pemerintahan NII tidak memakai dasar hukum Konstitusi atau Kanun Azasy NII dan Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959, maka itu kepengurusan pemerintahan NII yang dibentuknya dianggap tidak syah.

Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas, dari sejak 1962, atau dari sejak tertangkapnya Imam NII SM Kartosoewirjo 4 Juni 1962 sampai 1987, sebelum Imam NII baru terpilih, Pemerintahan NII tidak dinyatakan terbuka atau tidak dijaharkan.

Barang siapa diantara periode 1962 sampai 1986 yang membentuk personalia kepengurusan pemerintahan NII tanpa mendasarkan kepada Kanun Azasy NII dan Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959 dianggap tidak syah.

Adapun sejak tahun 1987, ketika alm Abdul Fatah Wirananggapati yang memenuhi persyaratan sebagai Imam NII berdasarkan Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT)
Nomor 11 tahun 1959, maka NII dinyatakan telah memiliki Imam baru yang meneruskan estafet kepemimpinan NII setelah Imam NII pertama dihukum mati.

Dari sudut pandang NII, kepemimpinan NII dibawah alm Abdul Fatah Wirananggapati adalah syah. Sedangkan kalau dilihat dari sudut RI memang NII tidak diakui eksistensi NII dari sejak awal NII diproklamasikan 7 Agustus 1949.

Karena wilayah de-facto NII dijajah RI, sedangkan Pemerintahan NII sudah dijaharkan, tetapi dalam penampilannya harus disesuaikan dengan keadaan dan situasi kedaan masa dijajah, walapun tidak dalam keadaan perang. Dan Pemerintah NII berada dibawah tanah dalam wilayah NII yang dijajah RI.

Seterusnya menyinggung anggota KUKT yang tinggal sampai tahun 1987 adalah hanya alm Abdul Fatah Wirananggapati, karena itu alm Abdul Fatah Wirananggapati yang berhak
memegang dan meneruskan roda kepemimpinan NII, sesuai dengan Maklumat
Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959.

Kemudian yang dimaksud dalam Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi (KUKT) adalah orang yang telah dibai'at Imam NII yang memiliki kewajiban dan pekerjaan Komandemen Tertinggi apabila Komandemen Tertinggi tidak ada.

Kalau dihubungkan dengan Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun
1959, maka Kuasa Usaha Komandemen Tertinggi (KUKT) memiliki kewajiban dan pekerjaan Panglima Perang Pusat NII, apabila Panglima Perang Pusat NII tidak ada lagi. Kemudian Anggota Komandemen Tertinggi (AKT) dan Kepala Staf Umum (KSU) juga sudah tidak ada lagi. Memperluas wawasan wilayah NII. Pada tahun 1953 menambah satuan NII tingkat divisi. Pada tahun 1953 membai'at dan mengangkat Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai Panglima TII Divisi V-Tjik di Tiro. Dan pada tahun 1953 juga membai'at Nungtjik Aqib sebagai Panglima TII Divisi Palembang.

Disamping itu alm Abdul Fatah Wirananggapati yang merupakan Eksekutif Sentral NII. Dimana Eksekutif Sentral ini adalah seorang pejabat rengking Imam awal SM Kartosoewirjo yang dibai'at dan diangkat langsung oleh Panglima Tertinggi Angkatan Perang NII pada tahun 1950.

Seterusnya, Soekarno mengeluarkan abolisi kepada orang-orang yang dianggap pemberontak. Karena alm Abdul Fatah Wirananggapati ditangkap dengan tuduhan sebagai pemberontak, dan berdasarkan abolisi Presiden Soekarno pada waktu itu diberikan kepada orang-orang yang dianggap memberontak kepada RI, tanpa memandang apakah itu dari NII atau PRRI, atau RPI, RIA, maka alm Abdul Fatah Wirananggapati dibebaskan atas usul dari Anwar Tjokroaminoto.

Menurut fakta dan bukti yang ada, alm Abdul Fatah Wirananggapati pada tahun 1963 dibebaskan setelah Soekarno mengeluarkan amnesti abolisi tahun 1961. Tetapi pada tahun 1975 ditangkap kembali, baru dibebaskan tahun 1983. Dan menjadi Imam NII penerus Imam NII SM Kartosoewirjo pada tahun 1987 berdasarkan Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959. Mengapa menjadi Imam NII baru tahun 1987 itu bergantung kepada situasi dan kondisi yang dianggap sudah matang NII dijaharkan pada tahun 1987. Dan bersamaan dengan dikeluarkannya Attibyan sebagai Manifesto Daulah Islam Indonesia yang ditulis oleh Idarul Mahdi Saefullah (alm Abdul Fattah Wirananggapati), 13 Mei 1987, yang dipublikasikan oleh Eksekutif Sentral Daulah Islam Indonesia Bidang Publikasi Ummat (Eksen Disina) 17 Ramadlan 1407 H /15 Mei 1987 M.)

Sebelum tahun 1987 Eksekutif Sentral NII memang belum dijaharkan. Kalau ada pihak-pihak lain yang membentuk personalia mengatasnamakan NII sebelum tahun 1987, jelas itu personalia pemerintah NII yang tidak berdasarkan kepada Kanun Azasy NII dan Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959.

Dari data yang ada menyebutkan bahwa wasiat Imam menjelang tertawannya Imam NII oleh Pihak RI pada tahun 1962 disampaikan kepada unsur personil MBS (Markas Bantala Seta) yang kemudian wasiat itu disampaikan kepada alm Abdul Fattah Wirananggapati selaku Eksekutif Sentral NII.

Karena itu ketika alm Abdul Fattah Wirananggapati yang merupakan juga Eksekutif Sentral NII dibebaskan pada tahun 1963 penampilan Eksekutif Sentral NII tidak dijaharkan sampai tahun 1987.

Selanjutnya, Wasiat Imam tidak menyalahi dan tidak mengalahkan kebijakan resmi Pemerintah yang tertuang dalam Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959.

Persoalannya adalah melihat situasi dan kondisi kekuatan Angkatan Perang NII yang tidak memungkinkan untuk melakukan perang total menghadapi pihak Penjajah RI. Karena itu penampilan Eksekutif Sentral NII dijaharkan menunggu waktunya yang tepat. Pada tahun 1987 adalah kesempatan yang baik untuk menjaharkan Eksekutif Sentral NII dibawah pimpinan alm Abdul Fattah Wirananggapati yang sekaligus sebagai Imam NII berdasarkan Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959.

Memang menurut Kanun Azasy NII dari sejak 7 Agustus 1949 sampai 4 Juni 1962 berlaku Bab I, Pasal 3, ayat 2.Djika keadaan memaksa, hak Madjlis Sjuro boleh beralih kepada Imam dan Dewan Imamah". Karena NII pada periode 1949-1962 masa perang, maka hukum yang diberlakukan adalah hukum perang sebagaimana diatur dalam Straf Recht NII.

Kemudian dari periode 1963 - 1987 penampilan Pemerintahan NII tidak diumumkan sesuai dengan wasiat Imam dan sesuai Kanun Azasy NII dari sejak 7 Agustus 1949 sampai 4 Juni 1962 berlaku Bab I, Pasal 3, ayat 2 dimana Imam bisa melakukan tugas dan fungsi yang diemban oleh Madjlis Sjuro. Artinya, wasiat atau maklumat atau aturan Imam lainnya yang disampaikan Imam sampai saat tertangkapnya 4 Juni 1962 dianggap sebagai dasar hukum NII untuk dipakai landasan hukum guna menjalankan roda pemerintahan NII selanjutnya.

Karena Eksekutif Sentral NII mengikuti landasan hukum yang dikeluarkan Imam NII pertama agar penampilan Eksen tidak dijaharkan, maka kebijaksanaan tersebut merupakan kebijaksanaan yang mengikuti jalur dan dasar hukum NII yang syah.

Setelah Eksekutif Sentral NII dijaharkan 1987, maka secara de-jure dan de-facto Pemerintah NII berdiri diatas Kanun Azasy NII, walaupun wilayah de-facto NII masih berada dibawah penjajah RI, tetapi fungsi dan tugas sehari-hari Pemerintah NII dijalankan sebagaimana lazimnya Pemerintah Negara pengasingan, kendatipun ada di wilayah NII yang dijajah RI.

Jadi eksistensi NII secara de-jure tidak hilang. NII tetap eksis diatas kanun azasy, Straf Recht, dan peraturan-peraturan pemerintah NII lainnya yang telah ditetapkan. Walaupun Imam NII SM Kartosoewirjo tertangkap, dan 32 orang pimpinan NII menyerah pada RI, tetapi kepemimpinan Pemerintahan NII tetap eksis dengan adanya kanun azasy NII, Straf Recht, Maklumat Komandemen Tertinggi (MKT) Nomor 11 tahun 1959. Kendatipun kepemimpinan NII tidak dijaharkan. Karena itu estafet kepemimpinan NII terus berjalan. Jadi selama kepemimpinan NII itu dibangun diatas pondasi dasar hukum yang masih berlaku dalam NII, maka selama itu kepemimpinan NII adalah sah.

Selanjutnya menurut Kanun Azasy NII dari sejak 7 Agustus 1949 sampai 4 Juni 1962 berlaku Bab I, Pasal 3, ayat 2.Djika keadaan memaksa, hak Madjlis Sjuro boleh beralih kepada Imam dan Dewan Imamah". Karena NII pada periode 1949-1962 masa perang, maka hukum yang diberlakukan adalah hukum perang sebagaimana diatur dalam Straf Recht NII.

Nah, karena dalam masa perang Madjlis Sjuro tidak berfungsi, maka hak Madjlis Sjuro boleh beralih kepada Imam dan Dewan Imamah. Jadi Imam pertama SM Kartosoewirjo bisa menjalankan dan melaksanakan hak yang dimiliki oleh Madjlis Sjuro. Karena itu apa yang dibuat, dicontohkan, dilakukan, ditetapkan, diputuskan oleh Imam SM Kartosoewirjo adalah merupakan dan dianggap secara hukum sebagai dasar hukum Pemerintahan NII pada masa perang.

Begitu juga menyangkut wasiat Imam menjelang tertawannya Imam NII oleh Pihak RI pada tahun 1962 disampaikan kepada unsur personil MBS (Markas Bantala Seta) yang kemudian wasiat itu disampaikan kepada Abdul Fattah Wirananggapati selaku Eksekutif Sentral NII.

Dimana wasiat imam merupakan hak Imam yang dikeluarkan pada masa perang yang bisa dijadikan sebagai salah satu dasar hukum dalam Pemerintahan NII pada masa perang. Jadi secara hukum dan konstitusi memang wasiat Imam tidak keluar dari jalur hukum dan konstitusi atau kanun azasy NII.

Karena alm Abdul Fatah Wirananggapati merupakan Eksekutif Sentral NII, yaitu seorang pejabat rengking Imam awal SM Kartosoewirjo yang dibai'at dan diangkat langsung oleh Panglima Tertinggi Angkatan Perang NII pada tahun 1950, maka menjelang tertawannya Imam NII membuat wasiat yang disampaikan kepada unsur personil MBS (Markas Bantala Seta), kemudian wasiat itu disampaikan kepada alm Abdul Fattah Wirananggapati selaku Eksekutif Sentral NII, maka secara hukum itu wasiat bisa dijadikan sebagai dasar hukum dalam NII yang masih dalam masa perang.

Tentang istilah Eksekutif Sentral ini yang memang tidak dijaharkan pada masa Kepemimpinan Imam Pertama SM Kartosoewirjo adalah merupakan hak dari Imam
yang juga sekaligus merupakan ketentuan hukum yang berlaku dalam NII pada masa perang. Dan kalau Eksekutif Sentral ini yang anggotanya dibai'at dan diangkat langsung oleh Panglima Tertinggi Angkatan Perang NII pada tahun 1950, maka jelas adanya Eksekutif Sentral tidak menyalahi konstitusi atau kanun azasy NII. Karena memang pembentukan Eksekutif Sentral yang tidak dijaharkan merupakan hak Imam NII berdasarkan kanun azasy NII dalam masa perang.

Jadi selama alm Abdul Fatah Wirananggapati atau Ali Mahfuz menjalankan Pemerintahan NII berdasarkan hak Imam yang dijamin oleh Kanun Azasy NII, maka selama itu apa yang telah dijalankan oleh alm Abdul Fatah Wirananggapati atau Ali Mahfuz adalah mengikuti jalur konstitusi atau kanun azasy NII.

Seterusnya menyinggung kepemimpinan NII sejak 1963 sampai 1987 tidak dijaharkan.

Itu Eksekutif Sentral yang anggotanya adalah Almarhum Abdul Fatah Wirananggapati tidak menjaharkannya berdasarkan wasiat Imam yang merupakan hak Imam NII pada masa perang yang sekaligus merupakan dasar hukum dalam NII. Dan ini tidak bertentangan dengan konstitusi atau kanun azasy NII. Selama tidak dijaharkan Eksekutif Sentral, maka tidak perlu dibentuk susunan kepemimpinan NII. Artinya estafet kepemimpinan NII pada masa perang, sedang masalah tidak dijaharkan, itu berdasarkan wasiat imam yang status hukumnya diteruskan oleh Eksekutif Sentral yang anggotanya alm Abdul Fatah Wirananggapati.

Jadi, itu estafet kepemimpinan NII selama tidak dijaharkan adalah tidak mati.

Baru pada tahun 1987 itu Eksekutif Sentral yang anggotanya adalah alm Abdul Fatah Wirananggapati menjaharkan adanya Eksekutif Sentral dengan diawali munculnya manifesto politik Eksekutif Sentral Daulah Islam Indonesia dalam Attibyan yang ditulis oleh Idarul Mahdi Saefullah (Abdul Fattah Wirananggapati), 13 Mei 1987, yang dipublikasikan oleh Eksekutif Sentral Daulah Islam Indonesia Bidang Publikasi Ummat (Eksen Disina) 17 Ramadlan 1407 H /15 Mei 1987 M.

Sebagai yang telah dijelaskan diatas, itu mantan tahanan yang terlibat NII alm Abdul Fattah Wirananggapati yang telah dibebaskan karena abolisi Soekarno pada tahun 1963, tentu tidak bebas sebebas-bebasnya, melainkan tetap dibawah pengawasan intelijen. Apalagi antara tahun 1975-1983 itu pihak Soeharto sedang gencar-gencarnya mempropagandakan adanya aktifitas teroris yang dinamakan dengan Komando Jihad. Dan Jenderal Ali Murtopo sebagai figur BAKIN melalui tangan-tangan kanannya seperti Ateng Djaelani Setiawan, Hadji Zainal Abidin dan lain lain yang pernah menyerah kepada Soekarno pada tanggal 1 Agustus 1962 kepada Soekarno, membentuk organisasi yang dibuatnya sendiri dengan nama Komando Jihad pada tahun 1978 yang secara formalitas memakai NII dengan Imamnya Adah Djaelani Tirtapradja yang pernah juga menyerah pada Soekarno pada tanggal 1 Agustus 1962.

Jadi, karena Jenderal Ali Murtopo dari BAKIN melihat dan mengawasi alm Abdul Fattah Wirananggapati sebagai mantan tahanan NII yang dibebaskan karena abolisi tahun 1963, maka walaupun alm Abdul Fattah Wirananggapati tidak termasuk kedalam Komando Jihad-nya Ateng Djaelani Setiawan dan NII-nya Adah Djaelani Tirtapradja, maka pihak Jenderal Ali Murtopo tetap menganggap dan menuduh alm Abdul Fattah Wirananggapati sebagai Komando Jihad, sehingga dimasukkan kedalam tahanan kembali. Dan baru dibebaskan pada tahun 1983, setelah Komando Jihad bisa digulung Ali Murrtopo dengan BAKIN-nya.

Alm Abdul Fattah Wirananggapati selama bebas 1963 - 1975 memang tetap mengikuti wasiat Imam yang menyatakan bahwa: "Lanjutkan perjuangan NII. Selamatkan Mijahid dan NII perjuangannya didearah musuh jangan di jaharkan."

Nah, karena menurut wasiat Imam SM Kartosoewirjo NII perjuangannya didearah musuh jangan di jaharkan, maka selama periode 1963 - 1975 alm Abdul Fattah Wirananggapati tidak menjaharkan NII.

Wasiat Imam disampaikan menjelang tertawannya Imam SM Kartosoewirjo oleh musuh pada tanggal 4 Juni 1962 kepada Unsur Personil Markas Bantala Seta, yang kemudian wasiat itu disampaikan olehnya kepada Eksen yaitu Eksekutif Sentral selaku pemegang tanggung jawab Imamah NII.

Dan menurut fakta dan bukti, ketika Imam SM Kartosoewirjo tertangkap pada tanggal 4 Juni 1962 di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat, itu tertangkap juga 22 orang termasuk A. Mudjahid alias Atjeng Kurnia Komandan Bataljon Pengawal Imam SM Kartosoewirjo. Dimana mereka semuanya dibawa ke Paseh.

Jadi berdasarkan fakta dan bukti diatas, itu wasiat Imam disampaikan menjelang atau setelah tertawannya Imam SM Kartosoewirjo oleh musuh pada tanggal 4 Juni 1962 kepada Unsur Personil Markas Bantala Seta. Selama periode menjelang 4 Juni sampai 16 Agustus 1962 itulah wasiat Imam disampaikan kepada Unsur Personil Markas Bantala Seta. Dan tentu saja, tidak semuanya yang tertangkap bersama Imam SM Kartosoewirjo diajukan ke muka Mahkamah Angkatan Darat dalam Keadaan Perang untuk Jawa-Madura pada tanggal 14 Agustus 1962 dan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 16 Agustus 1962 seperti yang dikenakan kepada Imam SM Kartosoewirjo. Bahkan itu A. Mudjahid alias Atjeng Kurnia justru menandatangani surat Ikrar Bersama setia kepada Pemerintah RI, Manifesto Politik RI, tunduk kepada UUD 1945 yang sekaligus merupakan penyerahan diri kepada Soekarno yang ditandatanganinya pada tanggal 1 Agustus 1962, yaitu 13 hari sebelum Imam SM Kartosoewirjo diajukan ke Mahkamah Angkatan Darat.

Selanjutnya, NII dari sejak diproklamasikan sampai Imam SM Kartosoewirjo tertangkap tanggal 4 Juni 1962, juga dari sejak 4 Juni 1962 sampai tahun 1987, NII masih dalam keadaan (juridis) perang. Dimana NII dalam keadaan (juridis) perang diberlakukan Undang Undang NII Straf-Recht & Pedoman Dharma Bakti.

Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas bahwa "disebabkan calon pengganti Imam yang tercantum dalam undang-undang itu tinggal satu lagi yakni K.U.K.T., maka KUKT itulah yang langsung menjadi Imam tanpa adanya pemilihan dari manapun. Hal itu bukan saja karena calonnya tinggal satu lagi, melainkan juga karena undang - undang sebelumnya, mengenai pemilihan Imam dalam Darurat Perang sudah dituangkan kedalam MKT No.11.tahun 1959. Dengan demikian sekalipun dalam keadaan darurat sehingga Dewan Imamah tidak berfungsi karena anggautanya banyak yang gugur, maka penggantian Imam tetap berlangsung. K.U.K.T. yang satu itu ialah alm Abdul Fatah Wirananggapati." Dan alm Abdul Fattah Wirananggapati menjadi Imam NII dari tahun 1987 sampai tahun 1997.

Jadi dari sejak penggantian Imam NII pada tahun 1987, maka dari sejak itu NII dijaharkan. Kemudian Imam NII pengganti alm Abdul Fattah Wirananggapati, sejak 8 Ramadhan 1417 H (18 Januari 1997), yaitu Ali Mahfuzh, berdasarkan MKT. No.5 Tahun 1997.

Adapun pengertian dijaharkan disini adalah kekuasaan de-facto NII yang hilang telah dimilikinya kembali oleh NII setelah adanya penggantian Imam NII pada tahun 1987. Dimana kekuasaan NII secara de-jure dan de-facto muncul kembali, kendatipun wilayah de-facto NII masih berada dibawah penjaja RI.

Bagi yang ada minat untuk menanggapi silahkan tujukan atau cc kan kepada ahmad@dataphone.se agar supaya sampai kepada saya dan bagi yang ada waktu untuk membaca tulisan-tulisan saya yang telah lalu yang menyinggung tentang Khilafah Islam dan Undang Undang Madinah silahkan lihat di kumpulan artikel di HP http://www.dataphone.se/~ahmad

Hanya kepada Allah kita memohon pertolongan dan hanya kepada Allah kita memohon petunjuk, amin *.*

Wassalam.

Ahmad Sudirman

http://www.dataphone.se/~ahmad
www.ahmad-sudirman.com
ahmad@dataphone.se
----------


From: maintenance.arutmin@ciptakridatama.co.id
Date: 1 juni 2005 05:23:13
To: "Ahmad Sudirman" ahmad_sudirman@hotmail.com
Subject: Re: [OPOSISI] MUBA DIJON TERKECOH KI BAGUS KETIKA MENGERAT PANCASILA, DIPIKIR MUBA ITU IRISAN

Good Day,

Pak Ahmad, sebenarnya perjuangan Indonesia (kemerdekaan) ini punya koneksi ga dengan penegakan Islam di Indonesia. Kok sepertinya paralel (tidak ada hubungannya). Mohon maaf karena pengetahuan saya cetek dan hanya berdasar yang saya dapat dari versi NKRI.

Sukarno itu siapa? ada hubungan dengan pergerakan Islam apa tidak? Terus kalau saya lihat ada banyak gerakan seperti DI, N11, IJ dan lain-lain termasuk yang akhirnya ditunggangi oleh penguasa seperti Kasus Woyla (sepengetahuan saya).

Best regards,

Rifani Afwan
maintenance.arutmin@ciptakridatama.co.id
Jakarta, Indonesia
----------