Senin, Juni 20, 2005

IMPERIUM NII AL ZAYTUN

http://sabili.co.id/inita-0502thxa.htm

"Imperium" Al-Zaytun yang fenomenal dan kontroversial kini berusia tiga tahun. Pembangunan Gedung Jenderal Besar Soeharto dan landasan pesawatkah kado ulang tahunnya?

Gedung Al-Akbar serasa mau runtuh. Pasalnya, Selasa (27/8) pagi ribuan massa terdiri dari santri, wali santri, dan tamu kehormatan dari dalam dan luar negeri tumplek blek di Pesantren terbesar dan termegah se-Asia Tenggara ini. Di deretan kursi kehormatan, nampak pejabat provinsi Jabar dan unsur Muspida Indramayu. Yang membanggakan Amereka, Kepala Perwakilan Republik Taiwan untuk Indonesia dan Ketua Perdamaian Taiwan, Sue Chin Lin juga ikut hadir.

"Ma'had ini terbuka untuk umum. Seperti telah kami sampaikan dalam pidato peringatan ultah ketiga bahwa ma'had ini bisa ditampilkan dalam bentuk yang jelas. Apa yang telah dilakukan dari nol tahun sampai tiga tahun telah kita sampaikan secara jelas di hadapan khalayak ramai, yang bermakna ini adalah suatu hasil untuk bangsa Indonesia," tegas Syaykh Panji Gumilang, pimpinan pondok Al-Zaytun, seusai acara.

Lulusan Fakultas Adab IAIN Syarif Hidayatullah yang juga alumni Gontor ini berusaha menjawab semua tudingan miring kepada pesantren binaannya, yang sebentar lagi akan menambah perbendaharan gedung-gedung mercusuarnya dengan pembangunan sebuah masjid berkapasitas 100.000 jamaah, lebih megah dari Istiqlal, dengan menara yang lebih tinggi dari Monas (Monumen Nasional).

Cukup sampai di situ? Belum. Masih ada yang lebih heboh. Yakni sebuah ruang belajar berlantai empat bernama "Gedung Jenderal Besar Soeharto", plus proyeksi pembangunan landasan Boeing dan Concorde. Untuk apa sebuah pesantren punya landasan pesawat? Mengapa juga nama H.M. Soeharto dibawa-bawa?

Syaykh Panji Gumilang punya jawabannya. Menurutnya, landasan pesawat itu untuk menjawab kebutuhan jasa transportasi santri-santri Al-Zaytun yang berasal dari seluruh Indonesia dan luar negeri. Soal 'pencatutan' nama Soeharto, arsitek Megaproyek Al-Zaytun ini menyebutnya sebagai upaya membiasakan diri menghormati jasa-jasa pemimpin. "Inilah Al-Zaytun, pesantrennya seluruh rakyat Indonesia. Kita kembangkan budaya toleransi, ramah dan terbuka. Siapa saja yang punya komitmen membangun pendidikan islamis dan modern, kita terima dengan lapang hati," ucapnya sebagaimana dikutip Pikiran Rakyat, Bandung.

Benhaq, seorang wali santri asal Padang yang dua hari sebelum acara secara khusus mengajak SABILI ke Al-Zaytun, berujar kepada SABILI, "Kalau toh betul apa yang diisukan bahwa pengelola Al-Zaytun dan orang-orang di belakangnya pernah mempunyai masa lalu yang bermasalah, apakah salah jika kemudian ia bertaubat dan berusaha menutupi kesalahannya dengan kebaikan?" ujar pria yang mengaku dekat dengan keluarga besar pesantren Hidayatullah ini.

Tentu saja itu tidak salah. Bahkan dianjurkan. Namun syarat-syarat bertaubat dalam Islam bukan sekadar menyesal di hati dan mengucapkannya di depan publik. Tapi juga mengembalikan apa yang pernah dirampasnya kepada yang berhak. Wiraswastawan yang kini tinggal di Depok ini bahkan berkali-kali menandaskan bahwa sesuatu yang jelek itu tak mungkin menghasilkan prestasi "kebaikan" seperti nampak di Haurgeulis, Indramayu, tempat Al-Zaytun berdigdaya.

Kalau umat Islam menafsirkan prestasi kebaikan itu melulu soal kemegahan fisik tanpa peduli bagaimana cara mendapatkan kemegahan itu, mungkin jawabannya bisa diterima. Namun, itu tak berlaku bagi pakar Syariah, Dr. Salim Segaf al-Jufri. Ia menganggap, sebuah maksud baik harus dicapai dengan jalan yang baik. Sebab tak ada tujuan yang menghalalkan cara. Itu adalah bagian yang sangat penting dari ajaran Islam.

Sementara itu, mayoritas orang tua santri yang ditemui SABILI mengaku tak peduli semua tudingan miring atas Al-Zaytun. Sebab, yang penting bagi mereka adalah anak mereka menjadi lebih baik, bisa berbahasa asing, dan menghafal al-Qur'an. Salah satu wali murid yang ditemui SABILI di kantin Al-Zaytun bahkan mengatakan bahwa isu-isu miring itu sengaja dilontarkan oleh kalangan yang tak ingin Islam maju. Sebagian lain mengatakan isu itu selalu datang setiap awal tahun ajaran baru.

Hardi, pelukis beken yang pernah ditangkap di masa Orde baru, menegaskan hal serupa saat ditemui SABILI, tak lama usai memberikan latihan melukis kepada para santri,. Menurutnya, Al-Zaytun ini menjadi kontroversi karena Islam selama ini terpinggirkan. "Ketika Islam terpinggirkan lalu ada gedung bertingkat dengan arsitekstur canggih, orang shock dan terkaget-kaget, lalu bertanya, 'Ini yang datang setan atau malaikat?'" ujarnya bertamsil.

Asumsi itu boleh jadi tak salah. Tapi mungkin tak seluruhnya benar. Buktinya, orang sekelas DR Yusnar Yusuf, mantan Ketua Litbang Depag yang beberapa waktu lalu ikut juga jadi peneliti Al-Zaytun Depag, menegaskan bahwa meski hasil penelitian mereka menunjukkan tak ada masalah dari aspek kurikulum, namun ia mengatakan secara pribadi tak akan menganjurkan anak-anaknya atau keluarganya nyantri di sana. Ia pun mewanti-wanti bahwa hasil rekomendasi mereka itu murni akademis dan tak masuk wilayah politis.

Memang masih banyak hal misterius di balik pesantren yang menjadikan toleransi dan perdamaian sebagai jargonnya. Mulai dari jarangnya seorang Syaykh Pondok memimpin para santrinya shalat jamaah, hingga soal security approach yang berlebihan. Yusnar pun membenarkan itu.

"Itulah yang menimbulkan tanda-tanya dan kecurigaan-kecurigaan," tandas pria asal Medan yang kini menjabat Direktur Pembinaan Masyarakat dan Pemberdayaan Masjid Departemen Agama. Dan, korban teranyar Al-Zaytun, siapa lagi kalau bukan SABILI sendiri yang harus segera angkat kaki dari sana setelah sebelumnya "disidang" dan sempat dituding sebagai mata-mata.

Akhirnya, mengutip pendapat Ketua Komisi Fatwa MUI Pusat, K.H. Ma'ruf Amin, yang menjanjikan rekomendasi soal Al-Zaytun dalam satu dua minggu ini, adalah sebuah fakta bahwa ada masalah dengan pengelola dan manajemen Al-Zaytun. Itu ditunjukkan dengan adanya resistensi sebagian masyarakat terhadapnya. Karenanya, kiai yang juga tokoh NU ini mengharap pemerintah serius dan sungguh-sungguh menanggapi hasil rekomendasi MUI nanti. Mengapa? "Agar Al-Zaytun tak keburu menjadi fosil," tandasnya mengingatkan.

M Adnan Firdaus