Kamis, Desember 22, 2005

Kala Pembantu di Bawah Pengaruh N-Sebelas

Para pengguna jasa pembantu rumah tangga (PRT), berhati-hatilah. Sebab, bukan mustahil, PRT yang sedianya diharapkan meringankan beban pekerjaan, justru menguras harta. Apalagi baru-baru ini, terbongkar sebuah jaringan Negara Islam Indonesia (NII) memanfaatkan tenaga PRT. Karena kepolosan dan pengetahuan yang minim, sindikat tersebut berhasil mengelabui PRT dengan dalih keagamaan. Alhasil, PRT yang kebanyakan dari daerah itu nekat melakukan apa saja untuk memenuhi permintaan pimpinan kelompok tersebut.

Kasus tersebut mulai terungkap setelah puluhan ibu-ibu beramai-ramai mendatangi Kantor Kepolisian Sektor Metro Pulogadung, Jakarta Timur, pertengahan April silam. Mereka melaporkan pencurian yang dilakukan PRT. Semula, polisi hanya menanggapi kasus tersebut sebagai tindak kriminal biasa seperti yang pernah terjadi selama ini. Namun, ketika jumlah pelapor semakin hari kian meningkat, polisi memprioritaskan penanganan kasus tersebut. Polsek Pulogadung segera membentuk tim penyidik dan para intelijen diterjunkan ke lokasi.

Pada penyelidikan awal, polisi mencium keterlibatan sebuah sindikat dalam serangkaian pencurian tersebut. Penyelidikan yang lebih intensif pun segera dilakukan. Kerja keras polisi berbuah hasil. Dari hasil pemeriksaan, polisi kemudian menangkap 33 tersangka.

Sejumlah barang bukti hasil curian disita dari para tersangka. Dugaan keterlibatan sebuah jaringan semakin kuat setelah, polisi menemukan sejumlah berkas dari para tersangka. Tak tanggung-tanggung, berkas itu adalah rencana pembentukan NII. Atas dasar barang bukti itu, polisi menduga para PRT yang mencuri itu adalah anggota NII [baca: Anggota Komplotan Pencuri Berkedok Agama Kembali Dibekuk].

Kepala Polsek Metro Pulogadung Komisaris Polisi Syamsurizal mengatakan, para tersangka mengaku menyerahkan hasil curian itu kepada pimpinannya. "Tapi kami belum bisa memastikan mereka terlibat dalam NII" kata Syamsurizal. Sejauh ini polisi masih menganggap tindak pidana para tersangka adalah kriminal murni. Namun polisi terus mengembangkan penyelidikan kemungkinan keterkaitan kasus ini dengan organisasi tersebut. Kemungkinan itu semakin mendekati kebenaran. "Ini atas dasar temuan barang bukti lain serta pengakuan para tersangka," kata Syamsurizal.

Dari puluhan tersangka yang ditangkap, jajaran Polsek Metro Pulogadung mengintensifkan pemeriksaan kepada Sujito alias Hambali. Sujito menuturkan, terlibat dalam sebuah kelompok pengajian. Dia mengaku mulai mengenal kelompok pengajian itu setelah berkenalan dengan seorang pria bernama Andi. Menurut pria berkulit gelap ini, Andi adalah seorang yang taat beragama karena karena pandai mengaji. Dengan daya tarik tersebut, pedagang asongan itu kian lengket dengan Andi. Bahkan, Andi bersedia mengajari Sujito membaca Al Quran.

Semakin hari, Sujito kian terpikat dengan kepandaian Andi. Terlebih ketika Andi mengangkat Sujito sebagai "petinggi desa". Selaku petinggi desa, Sujito diberi tugas mencari sebanyak mungkin anggota baru. Jika ada yang tertarik, maka anggota baru tersebut wajib menyerahkan sejumlah dana yang disebut sebagai sedekah. "Kamu harus membayar sedekah untuk menebus dosa-dosa yang telah kamu lakukan. Jumlahnya terserah kesanggupan kamu," kata Sujito menirukan perkataan Andi. Saat itu, Sujito membayar sedekah Rp 60 ribu dengan tiga kali cicilan.

Setelah melunasi sejumlah uang yang disepakati, anggota baru tersebut dibaiat atau disumpah. Sujito belum pernah membaiat anggota baru. Bahkan, dia lupa isi sumpah itu. Dia mengaku hanya mengarahkan anggota baru untuk hijrah. Menurut Sujito, seluruh pengumpulan uang dengan dalih sedekah itu diserahkan kepada Andi. "Saya tak tahu penggunaan derma itu untuk apa. Andi nggak pernah cerita. Tapi setiap bulan saya terima gaji Rp 75 ribu," aku Sujito.

Adam, tersangka lain yang menjabat kepala bagian keuangan menuturkan, kegiatan merekrut anggota baru sudah berjalan selama setahun. Sepanjang masa itu, sedekah dari anggota baru digunakan untuk kegiatan sehari-hari. Selain itu, juga digunakan untuk memperluas jaringan kerja. Diperkirakan dana yang berhasil terkumpul mencapai puluhan juta rupiah. "Dana itu buat makan, beli peralatan, beli Alquran dan dikasih ke Pak Hambali," aku Adam.

Tersangka lain yang diringkus polisi adalah Hefty Supartini. Sebelum terlibat dalam kelompok pengajian, dia mengaku lama bekerja sebagai PRT. Suatu ketika, Hefty berkenalan dengan seorang anggota kelompok pengajian. Karena bujuk rayu, dia bersedia menjadi anggota kelompok tersebut. Saat diajak, Hefty diiming-imingi hadiah. Namun, sebelum bergabung, dia diharuskan "hijrah" dengan syarat membayar infak. Hefty merelakan uang Rp 150 ribu untuk membayar infak. Bahkan, dia menyanggupi membayar sedekah sebesar Rp 1 juta. "Saya belum bayar karena saat itu belum punya uang," kata Hefty.

Singkat kata, ketertarikan Hefty dengan pengajian itu semakin kuat. Namun dia harus melunasi janjinya membayar sedekah untuk menghapus semua dosa yang pernah diperbuat. Menurut temannya, sedekah itu untuk menyucikan diri. Hefty juga diharuskan hijrah yaitu perpindahan dari sifat atau tempat buruk ke yang baik.

Meski sudah hijrah tapi belum bersedekah, dianggap belum suci. Satu yang pasti, perasaan Hefty kian tertekan. Terlebih temannya mengatakan, bila tak sedekah maka belum sempurna dan menjadi kafir seperti yang tercantum dalam Alquran. Didorong ingin memenuhi sedekah, Hefty nekat mencuri barang milik majikannya. "Kalau sudah berdasarkan Alquran kan harus diyakini," kata Hefty.

Perempuan berkulit sawo matang ini mengaku sudah disumpah. Namun, dia tak mengetahui yang menyumpah dirinya. Sebab, saat akan dibaiat, dia dijemput anggota kelompok pengajian. Saat menuju tempat penyumpahan, anggota kelompok itu menutup mata Hefty. Setiba di lokasi, dia berjumpa dengan beberapa orang yang belum pernah dikenalnya. Meski penuh tanda tanya, prosesi baiat pun dijalaninya. Tapi, dia tak ingat isi sumpah atau ucapan saat baiat.

Perasaan berdosa jika tak bisa melunasi sedekah juga dialami Turiyah, tersangka lainnya. Selain harus membayar sedekah, dia juga diwajibkan menyerahkan infak setiap bulannya. Karena itulah, Turiyah nekat mencuri mencuri uang majikannya sebesar Rp 200 ribu dan perhiasan emas. Dia kemudian menyerahkan hasil curian itu kepada Andi. Sebab, menurut Andi, sedekah duit bisa dengan berupa harta seperti emas dan perak.

Jika ditilik lebih jauh, kasus pencurian oleh PRT itu bukan sekadar tindak pencurian biasa. Dibalik itu terdapat suatu kelompok yang mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan tindakan seperti yang diinginkan jaringan tersebut. Menurut ahli psikologi sosial dari Universitas Indonesia Drajat S. Sumitro, kemampuan untuk mempengaruhi orang lain itu mungkin dilakukan jika orang yang dipengaruhi dalam keadaan labil. "Dalam kondisi itu, mudah sekali omongan yang menimbulkan kepastian dan membuat rasa aman, mempengaruhi korban. Mereka juga mau disuruh berbuat apapun," kata Drajat.

Dengan begitu, kata Drajat, seseorang bisa dikategorikan terkena sugesti (pengaruh yang bisa menggerakkan hati orang). Pengaruh yang berkembang menjadi keyakinan tersebut akan mudah sekali menjalar atau menular kepada orang lain di sekelilingnya. Menurut Drajat, tingkat kecerdasan seseorang dalam suasana sugesti akan menurun. Terlebih lagi, perilaku yang bersifat kolektif tersebut cepat menjalar.

Di sisi lain, praktisi hukum Johnson Panjaitan mengatakan, kepolisian harus menangani kasus ini secara komprehensif. Artinya, tidak semata-mata dituduhkan kepada para PRT. Anggota Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia itu mengatakan, tindakan tersebut tidak dilakukan oleh individu PRT. Johnson yakin dibelakang PRT terdapat sejumlah pelaku utama. Tapi, polisi harus melihat kasus ini sebagai sebuah proses yang memiliki mata rantainya. Johnson berharap, kasus ini jangan sampai dibawa ke pengadilan tanpa membongkar yang sesungguhnya terjadi.

www.liputan6.com/