Senin, Oktober 29, 2007

ALIRAN SESAT MAHASISWI UNDIP SEMARANG




Kali pertama saya mendengar pengakuan dari Ema, mahasiswa semester IV di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Suatu kali ia diajak seorang temannya bernama Ratih untuk membeli flash disk di Java Supermall, salah satu mall terbesar di kota Semarang. Teman Ema itu bilang, ada pameran komputer di sana. Tanpa curiga, Ema menerima ajakannya.

Sesampainya di Java Supermall Ema diperkenalkan dengan teman Ratih yang secara tak sengaja bertemu dengan mereka. Beberapa saat mereka terlibat perbincangan. Tak lama kemudian datang dua orang teman Ratih. Salah satunya adalah teman lama Ratih di SMA. Salah seorang dari kedua teman Ratih itu kemudian bilang, hendak memperkenalkan Ratih dan Ema dengan seorang teman dari Jakarta. Namanya Wawan. Wawan ini telah beberapa kali mengikuti seminar tentang Islam hingga ke Malaysia. Tak lama kemudian datanglah orang yang dimaksud.

"Nah, mumpung lagi ketemu sama mas Wawan gimana kalau kita ngobrol sebentar. Soalnya dia banyak pengalaman. Sayangkan kalau kesempatan ini dilewatkan," kata teman Ratih yang baru saja dikenalkan kepada Ema itu.

Mereka menuju ke restoran siap saji Mc Donald. Di sini Wawan menyampaikan pengalamannya selama mengikuti seminar tentang islam di beberapa tempat di tanah air hingga ke luar negeri.

"Anda muslim? Apa yang anda banggakan dari negara Indonesia ini?" Wawan membuka diskusi.

Menurut Wawan negara Indonesia bukan negara yang ideal bagi umat muslim. Produk-produk hukum yang ada bukan merupakan hukum Islam. Sebagai muslim yang taat, maka kita perlu menegakkan syariat Islam. Satu-satunya yakni dengan membentuk negara Islam. Untuk itu, kita perlu melakukan jihad menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam.

Wawan memberikan penjelasan dengan penuh semangat. Kata Ema, seperti orang yang tengah mempresentasikan bisnis MLM. Sesekali ia membuka Al Qur'an berukuran saku dan membacakan dalil-dalil untuk mendukung argumentasinya.

Dikatakan Wawan jika kita sepakat, maka kita perlu berjihad. Berjihad secara total, tidak setengah-setengah. Rela memberikan apa yang kita cintai untuk berjuang di jalan Allah.

"Sekarang, berapa kemampuan anda untuk bershodaqoh di jalan Alloh," tanya Wawan.

"Tiga juta," jawab salah seorang.
"Tujuh juta," jawab lainnya.

Kini giliran Ema. Ia masih terdiam. Ia tak membawa uang sebesar itu.

"Sekarang, barang apa yang paling anda cintai. Jika anda mengaku sebagai umat muslim, maka kapanpun harus bersedia menyedekahkan untuk di jalan Alloh," tanya Wawan lagi.

"Radio. Salah satu barang milik saya yang saya sukai adalah radio," jawab Ema dengan lugu.

Tapi jawaban Ema itu dimentahkan oleh Wawamn. Menurutnya radio bukan barang yang layak untuk sedekah, selain barang itu kini tak ada di tangan Ema, nilai nominal radio relatif rendah. "Yang sekarang anda bawa?" tanya Wawan lagi.

Ema merasa terpojok. Satu-satunya barang yang dibawanya, yang paling disukainya, tak lain adalah Hand Phone Nokia N-Gage. Tapi dia berat untuk melepaskannya. Ini handphone satu-satunya.

"Handphone," jawab Ema, setengah terpaksa.
"Tapi, handphone ini bukan milik saya. Ini punya kakak saya. Ia yang membelinya. Saya harus minta ijin dulu kepada kakak saya," jawabnya memberi alasan. Sebenarnya ia tak rela jika harus memberikan handphone itu, entah untuk jihad di jalan tuhan. Maka ia sebisa mungkin mencari alasan.

"Tidak, kalau anda mau sodaqoh tak boleh ditunda-tunda. Harus segera," jawab Wawan. Ia kemudian membacakan dalil yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad bersedekah dengan memberikan harta miliknya yang sebenarnya sangat disayangi.

Maka, dengan berat hati Ema pun menyerahkan Handphone itu. Salah seorang mengatakan Handphone itu akan digadaikan. Uangnya nanti akan digunakan untuk keperluan jihad di jalan Alloh. Beberapa saat kemudian, kurang dari 15 menit, seorang yang menggadaikan handphone itu kembali. Katanya, sudah beres. Eva mulai curiga, "kok secepat itu," pikirnya.

"Sekarang, anda harus segera membersihkan diri. Saya ajak anda untuk hijrah," kata Wawan. Hijrah kemana? Ke suatu tempat, di sana Ema akan dibersihkan diri. Hmm....

"Tapi saya harus pulang ke kos dulu. Saya belum bawa apa-apa. Saya perlu persiapan," kata Ema.

Lagi-lagi jawaban Ema ditolak. Dikatakan, jika hendak bertaubat maka harus dilaksanakan dengan segera, tak boleh ditunda-tunda. Anjuran hijrah ini katanya seperti yang dilakukan oleh Rosulullah saat berhijrah dari Makkah ke Madinah.

Salah seorang bilang kepada Ema jika dirinya akan diajak pergi ke Jakarta. Dari Java Supermall mereka kemudian mereka menuju ke stasiun kereta api Poncol. Sore menjelang maghrib mereka tiba di stasiun. Mereka memesan tiket kereta yang berangkat pukul 18.00, tapi rupanya tiket yang dimaksud sudah habis dipesan. Jam keberangkatan selanjutnya sekitar pukul 21.00. Artrinya mereka masih harus menunggu beberapa jam lagi.

Ema merasa ada yang tak beres. Ia meminjam handphone Ratih untuk menghubungi pacarnya. Selang beberapa menit kemudian sang pacar menelponnya dengan nada marah-marah setelah mengetahui Ema hendak pegi ke Jakarta. Tak lama kemudian sang pacar datang ke stasiun menemui Ema dan memarahinya. Ema diajaknya pulang. Teman Ema dan orang yang hendak mengajaknya ke Jakarta itu kabur entah kemana.

****
Mendengar cerita Ema itu, saya mulai curiga, ada yang tak beres dengan "gerakan jihad" yang hendak membawa Ema ke Jakarta itu. Pertama, ajakan itu terkesan memaksa. Kemudian, konsep shodaqoh itu saya artikan sebagai pemerasan. Lantas, jihad macam apa itu?

Saya menduga Ratih telah menyusun skenario untuk mempertemukan Ema dengan teman-temannya. Mulanya mengajak untuk membeli flash disk, di tempat yang dimaksud sudah disiapkan teman-teman yang akan memberikan presentasi kepada Ema tentang konsep Khilafah Islamiyah(Negara Islam). Ini jelas cara yang picik, licik, yang dipakai untuk sebuah tujuan berjuang di jalan kebenaran.

"Apa kamu tertarik dengan konsep negara Islam," tanya saya kepada Ema.
"Saya penasaran, saya ingin tahu," jawab Ema, mahasiswa yang masih lugu soal wacana Islam ini.

Saya katakan, apa perlunya mendirikan negara Islam. Apakah untuk menjadi seorang muslim kita harus hidup di negara Islam. Apa di Indonesia sekarang muslim tak bisa menjalankan sholat, tak bisa melakukan ibadah?

Saya ajak dia kembali mengenang sejarah masuknya agama Islam ke tanah air. Waktu itu agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Arab. Mereka menyebarkan Islam di daerah-daerah yang disinggahinya. Setahap demi setahap, agama Islam mulai berkembang di daerah pesisir. Sementara itu, di daerah lain, daerah perkotaan, pegunungan, yang belum dijamah oleh para pedagang Arab itu masih banyak yang memeluk kepercayaan Hindu-Budha.

"Kau ingat bagaimana Wali Songo memperkenalkan agama Islam kepada masyarakat Jawa. Masyarakat yang menurut Cliffort Geertz dibedakan ke dalam tiga golongan: Santri, Abangan, dan Priyayi," tanya saya kepada Ema.

Dalam menyebarkan agama Islam Wali Songo, terutama yang dimotori oleh Sunan Kalijaga menggunakan cara-cara yang begitu lentur, melalui pendekatan budaya dan kesenian. Ia menggunakan kesenian wayang untuk menyebarkan agam Islam. Tokoh-tokoh perwayangan yang sebelumnya dikenalkan dalam kebudayaan Hindu-Budha itu, diganti dengan tokoh-tokoh yang ada di sejarah islam. Kalijaga tak hendak membuang budaya yang selama ini telah melekat di masyarakat Jawa itu dengan menggantikannya dengan syariat Islam. Ia memakai cara-cara yang lunak, menyusupi budaya lama itu dengan nilai-nilai Islam. Ibarat tempurung, ia tak memecah tempurung itu, tapi ia cuma membuang isinya, dan mengisinya kembali dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.

Dengan pemahaman Islam ala Sunan Kaljaga itu, menjadi Islam tak harus dengan menggunakan aturan-aturan yang saklek seperti di Arab, seperti yang tertulis di Al Qur'an. Agama Islam di Indonesia tak harus seperti yang ada di Arab. Agama mengenal budaya, agama bukan milik satu masyarakat berdasar letak geografis, tapi agama bisa masuk ke jenis masyarakat dengan jenis kultur dan budaya apapaun. Dan siapapun bisa menjadi Islam, termasuk orang Jawa yang masih percaya terhadap sedekah laut, misalnya.