Rabu, Agustus 26, 2009

Zaytun Pusat Toleransi





Kedekatan Pesantren Az-Zaytun dengan pihak Nasrani memang berlebihan. Sampai-sampai, pada Natal 2005, pesantren ini memasukkan tamu dari Yayasan The Gideon

International untuk membagikan 1.400 Bibel gratis. Sementara pada perayaan Idul Fitri (13/10/2007), tim yang bertugas mendokumentasikan kegiatan adalah orang

Kristen. Acara yang digelar di ruang Mini Az-Zaytun Student Opera (Mini Zateso) ini, Tim Kesenian Az-Zaytun menyanyikan lagu “Gereja Tua” ciptaan Benny

Panjaitan. Ini dilakukan atas perintah langsung dari Syaikh Ma’had Panji Gumilang.

Dendangan lagu “Gereja Tua” di pesantren sangat aneh, karena lagu ini sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan makna Idul Fitri pasca shaum Ramadhan.

Apakah lagu “Gereja Tua” bisa meningkatkan iman, takwa, dan menguatkan akidah para santri? Yang jelas, terlalu dekatnya persahabatan Az-Zaytun dengan pihak

non-Islam justru menyebabkan banyaknya kemudharatan di pesantren ini. Salah satunya adalah murtadnya Saifuddin Ibrahim, seorang pengasuh ma’had.

Selain dimuat di Tabloid Reformata, kesaksian penginjil murtadin Az-Zaytun ini juga dimuat dalam sebuah diktat 138 halaman. Tim FAKTA mendapatkan diktat ini

dari Pendeta Makhrus Ali di Surabaya, setahun lalu. Salah satu alasan meninggalkan Islam, karena Islam mengajarkan radikalisme. Menurutnya, ayat-ayat perang

dalam al-Qur’an yakni, al-Baqarah: 191, at-Taubah: 5, dan at-Taubah: 29, mengajarkan membunuh orang kafir di mana saja berada.

Terhadap ayat-ayat di atas, Saifuddin juga berkomentar, “Saya tidak menemukan ayat dengan fi’il amar (kata perintah) dalam Alkitab yang gamblang menyuruh

membunuh orang, dan juga tidak menemukan ayat dalam kitab Tripitaka atau kitab Wedha perintah yang sama. Ini harus menjadi perhatian para ulama dan pendeta

untuk membimbing umat dengan arif, penuh toleran, dan damai.” (hlm. 35-36).

Sebenarnya, alasan murtad ini bukan pemikiran Saifuddin, tapi menjiplak penginjil lain. Tuduhan sebagai agama perang, sudah menjadi langganan para penginjil

dalam mendiskreditkan Islam. Tuduhan ini juga sudah dikupas pada rubrik ini (Baca Sabili Th XVI No 20/23 April 2009).

Karenanya, menuding Islam sebagai agama sadis adalah pembodohan atas nama agama. Karena ayat tentang perang terhadap kafir harbi (orang kafir yang melakukan

permusuhan) hanya berlaku dalam situasi perang, bukan dalam kondisi damai. Dalam peperangan, teori apapun pasti membolehkan mengangkat senjata untuk melawan

musuh yang zalim, atau musuh yang terlebih dulu melakukan penyerangan. Jadi tidak ada yang aneh dengan syariat perang yang diajarkan al-Qur'an.

Pernyataan Saifuddin yang mengatakan, “Saya tidak menemukan ayat dengan fi’il amar (kata perintah) dalam Alkitab yang secara gamblang menyuruh membunuh

orang...”, justru membuktikan bahwa dia terjebak dalam fatamorgana agama baru yang dianggapnya lebih menjanjikan. Dengan pernyataan ini, juga menunjukan

bahwa ia tidak memahami Alkitab (Bibel).

Dalam Bibel, ayat perang yang sangat buas justru diperagakan dengan kalimat sadis: “Majulah ke negeri Merataim, majulah menyerangnya dan menyerang penduduk

Pekod! Bunuhlah dan tumpaslah mereka, demikianlah firman Tuhan, lakukanlah tepat seperti yang Kuperintahkan!” (Yeremia 50:21).

”Karena Tuhan yang menyebabkan hati orang-orang itu menjadi keras, sehingga mereka berperang melawan orang Israel, supaya mereka ditumpas, dan jangan

dikasihani, tetapi dipunahkan, seperti yang diperintahkan Tuhan kepada Musa,” (Yosua 11:20).

”Tetapi dari kota-kota bangsa-bangsa itu yang diberikan Tuhan, Allahmu, kepadamu menjadi milik pusakamu, janganlah kau biarkan hidup apa pun yang bernafas,

melainkan kau tumpas sama sekali, yakni orang Het, orang Amori, orang Kanaan, orang Feris, orang Hewi, dan orang Yebus, seperti yang diperintahkan kepadamu

oleh Tuhan, Allahmu,” (Ulangan 20:16–17, baca juga ayat 1-20).

Bahkan, untuk sekadar membalas dendam Israel pada orang Amalek, Tuhan mengeluarkan perintah (dengan fi’il amar) untuk membunuh dan menumpas seluruh rakyat

dan binatang ternak tanpa belas kasihan, baik laki-laki, perempuan, anak balita, maupun binatang ternak (1 Samuel 15: 1-11). Pada ayat lain, Tuhan

memerintahkan Yosua untuk membantai penduduk, membunuh makhluk yang bernafas, menjarah harta, dan membakar kota (Yosua 11:6-15).

Orang bisa menilai ayat-ayat Bibel itu. Tuhan memerintahkan (dengan fi’il amar) untuk membunuh dan menumpas seluruh penduduk yang bernyawa, laki-laki,

wanita, anak-anak, maupun binatang. Ayat-ayat Bibel ini jelas bertentangan dengan pernyataan Saifuddin bahwa dalam Bibel, Tuhan tidak pernah menyuruh orang

untuk membunuh.

Sementara Islam, membolehkan memerangi kafir harbi dengan etika dan aturan kemanusiaan yang sama sekali tak boleh dilanggar. Aturan itu, antara lain: tidak

boleh berlebih-lebihan dan melampaui batas (QS al-Baqarah: 190); dilarang menyiksa dan mutilasi, dilarang membunuh anak-anak, wanita dan orang tua, serta

dilarang membunuh orang yang ada di rumah ibadah. (HR Muslim).

Karenanya, alasan Saifuddin adalah salah besar. Untuk itu, harus dipikir ulang dengan hati nurani yang jernih, lepas dari keinginan dan iming-iming duniawi.

Jika ia tak bisa mengambil ibrah (pelajaran) dari fakta-fakta ini, maka benarlah firman Allah SWT dalam surat Hud: 24 yang menyatakan bahwa, perbandingan

golongan kafir dan mukmin itu seperti orang buta dan tuli dengan orang yang melihat dan mendengar.

Bisakah Saifuddin mengambil pelajaran dari perbandingan ini?

sumber : http://sabili.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=523:kesaksian-penginjil-dari-az-zaytun&catid=82:inkit&Itemid=199