KERAGUAN sejumlah kalangan tentang implementasi reposisi TNI untuk tidak terlibat politik praktis kembali mengemuka. Asumsi ini setidaknya terbangun saat publik melihat kasus mobilisasi pemilih ke sejumlah tempat pemungutan suara di Pondok Pesantren Al-Zaytun, Indramayu, Jawa Barat. Kasus ini melibatkan seorang perwira, sejumlah anggota TNI, dan pemanfaatan fasilitas TNI (kendaraan bertuliskan Mabes TNI).
Sebelumnya, keraguan itu sempat muncul di masyarakat ketika Jenderal (Purn) Wiranto, Jenderal (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono, dan Jenderal (Purn) Agum Gumelar terlibat pertarungan memperebutkan kursi presiden dan wakil presiden. Bahkan, kohesivitas dan soliditas TNI sempat terganggu ketika Mayor Jenderal (Purn) Kivlan Zein membeberkan beberapa persoalan yang berkait dengan calon presiden (capres) Wiranto.
SEJUMLAH kasus itu, terutama kasus mobilisasi politik, patut disayangkan mengingat masyarakat belum sepenuhnya yakin TNI akan betul-betul netral dan tidak akan terseret dalam power game. Atas kasus ini, Panglima TNI Jenderal Endriatono Sutarto memutuskan untuk mencopot Komandan Satuan Angkutan Markas Besar TNI dari jabatannya dan menahan 21 sopir dari anggota TNI (Kompas, 8/7/2004).
Sikap tegas Panglima TNI ini patut didukung sepenuhnya. Sebelumnya, Panglima juga membuat sejumlah keputusan yang mendorong independensi TNI. Namun, kasus Al-Zaytun justru memunculkan kembali sinyalemen di masyarakat, ada sesuatu yang belum tuntas berkaitan dengan reposisi di tubuh TNI. Meski reformasi TNI telah dimulai sejak reformasi politik 1998, harus diakui masih ada sisa masalah yang belum tuntas, terutama yang berkaitan dengan upaya mengubah pola pikir anggota TNI.
Yang menarik disikapi adalah mengapa peristiwa ini terjadi saat masyarakat memerlukan pembuktian bahwa TNI betul-betul netral dan tidak berpihak pada kandidat mana pun. Ada beberapa catatan berkait dengan munculnya peristiwa itu sekaligus menjadi bahan refleksi bersama, terutama kepada elite-elite TNI yang menjadi motor penggerak bagi masa depan reformasi TNI.
Pertama, masalah Al-Zaytun mungkin hanya kasuistik sifatnya, tetapi fenomena ini memengaruhi (baca: mengurangi) citra TNI yang mulai pulih di tengah masyarakat. Karena itu, wajar jika mobilisasi pemilih menimbulkan penilaian sebagian masyarakat, TNI belum serius melakukan reorientasi dan reposisi dari politik praktis serta belum mampu sepenuhnya bersikap netral.
Reformasi internal yang sedang dilakukan kalangan TNI maupun yang didesakkan kalangan sipil belum menyentuh akarnya (anggota TNI) yang paling bawah, terutama menyangkut perubahan pola pikir dan paradigma anggota TNI. Wilayah ini paling sulit diubah karena berkait dengan kurikulum dan doktrin kemiliteran yang selama ini masih didominasi paradigma lama.
Hal ini tercermin dari masih banyaknya anggota TNI yang berpikiran dan berperilaku politis.
Kencangnya gerakan antimiliterisme juga dipengaruhi belum adanya keyakinan publik menyangkut reformasi TNI. Kalangan masyarakat yang mengusung isu antimiliterisme juga dikuatkan keyakinannya bahwa institusi ini masih strategis untuk dijadikan mesin politik. Jaringan TNI yang sampai ke tingkat desa memungkinkan efektivitas institusi itu menjadi kekuatan politik praktis.
Kedua, kasus Al-Zaytun merupakan cermin belum tuntas dan meratanya pemahaman personel maupun purnawirawan TNI tentang posisi, peran, dan fungsi baru TNI sebagai alat pertahanan yang netral dari politik praktis. Selain itu, senioritas di tubuh TNI tampaknya masih terpelihara dengan baik sehingga ketika ada senior mereka yang terjun ke politik, serta-merta perasaan ewuh pakewuh untuk tidak memberikan dukungan politis menyeruak mengalahkan paradigma baru TNI. Bagaimanapun juga, anggota TNI di bawah masih sulit untuk tidak mendukung capres dari figur militer. Selain ada semacam ikatan esprit de corps, sebagian besar anggota TNI hingga kini belum yakin tentang kemampuan sipil memimpin negeri.
Karena itu, mendesak bagi pimpinan TNI untuk membuat semacam kode etik atau aturan main yang operasional untuk menyikapi seorang purnawirawan yang masuk dunia politik praktis. Ini penting, setidaknya pada capres maupun cawapres dari TNI memiliki rambu-rambu sebagai acuan dalam berpolitik. Meski seorang purnawirawan boleh-boleh saja dan sah-sah saja masuk dunia politik, yang harus dipikirkan ulang adalah implikasi negatif terhadap institusi TNI.
Ketiga, munculnya sejumlah kader TNI sebagai capres-cawapres, sudah diprediksi sejak awal, pasti memunculkan rivalitas antarmereka. TNI yang masih dianggap sebagai instrumen politik paling efektif sampai hari ini jelas menjadi incaran capres purnawirawan. Dari sinilah rivalitas antarkader TNI tak terhindarkan, ditambah masuknya sejumlah perwira (baca: purnawirawan) TNI ke dalam tim sukses kian menambah kentalnya rivalitas itu.
KASUS Al-Zaytun, sekali lagi, merupakan imbas munculnya persaingan itu. Capres dari TNI akan (berusaha) memanfaatkan jaringan lamanya (TNI). Konsekuensinya, keutuhan TNI menjadi agak terganggu. Secara kelembagaan mungkin masih bisa dieliminasi, tetapi secara individual, anggota TNI sulit memosisikan diri dari para seniornya.
Sikap tegas Panglima TNI atas kasus Al-Zaytun harus didukung. Namun, sekali lagi, kasus ini harus menjadi bahan renungan bersama, terutama bagi elite TNI, bahwa perubahan itu tak hanya bisa dilakukan pada domain kebijakan yang hanya berkait dengan struktur semata, tetapi yang paling penting bagaimana mengubah pola pikir dan paradigma anggota TNI sampai yang paling bawah.
Keraguan dan pesimisme beberapa kalangan juga muncul karena sampai hari ini kita belum melihat komitmen dari tiga jenderal purnawirawan itu untuk melanjutkan reformasi internal TNI yang sesungguhnya. Pesimisme ini setidaknya bisa dilihat dari komitmen mereka yang terkesan setengah-setengah. Dalam debat yang dilakukan KPU beberapa waktu lalu, sejumlah jenderal itu terkesan "menahan diri" untuk berbicara seputar perubahan TNI yang lebih implementatif.
Hal ini bisa dilihat dari dua di antara tiga jenderal itu terkesan keberatan bila TNI diposisikan dan menjadi bagian dari Departemen Pertahanan. Mereka belum sepenuhnya rela tentang prinsip supremasi sipil, di mana TNI benar-benar menjadi alat negara dan karena itu TNI harus tunduk kepada siapa pun yang menjadi the elected politicians (politisi yang terpilih dalam pemilu).
Amat mungkin, kasus Al-Zaytun hanya satu kasus yang kebetulan tercium media. Kita belum tahu apakah kasus serupa sebetulnya juga terjadi di daerah lain meski model dan kasusnya berbeda. Akhirnya, tanpa mempertanyakan capres mana yang terlibat kasus ini, yang jelas kita perlu dan harus belajar dari kasus Al-Zaytun.
A Malik Haramain Ketua Umum PB PMII; Pemerhati Masalah Militer