Sabtu, Agustus 07, 2004

Parahnya Kondisi Umat Islam Indonesia

Akibatnya, ada pemandangan aneh tapi nyata secara serempak. Tidak sedikit orang yang sok intelek yang pemikirannya keblinger bahkan sesat, atau setidaknya, banyak intelektual yang nyeleneh. Tidak sedikit kyai-kyai yang nyambi jualan jimat. Tidak sedikit kyai, penceramah dan pengajar ngaji yang mengajari umat dengan kitab-kitab menyimpang, yang tidak sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya. Tidak sedikit masyarakat yang tertipu oleh dukun-dukun. Tidak sedikit umat Islam yang tertipu oleh bid'ah-bid'ah yang dikembangsuburkan dan dipertahankan oleh para kyai NU, para habaib dan lainnya. Dan tidak sedikit umat yang tergelincir masuk ke aliran-aliran sesat:

Ada yang masuk ke Syi'ah, LDII, Ahmadiyah, agama baru Lia Aminuddin agama Salamullah, Inkar Sunnah, Isa Bugis, Zakya Maqta yang tokohnya bernama HMA Bijak Bestari mengaku sebagai Tuhan, Lembaga Kerasulan (LK) yang menganggap tetap adanya pengangkatan rasul sampai akhir zaman.

Ada yang ikut aliran NII-Al-Zaytun yang mengubah-ubah syari'at. Ada yang ikut tasawuf sangat sesat seperti mengaku dirinya lebur dan menyatu dengan Tuhan (hulul dan ittihad), atau kesesatan model lain yakni tasawuf berpaham wihdatul wujud semua alam ini wujud Tuhan, hingga menyembah patung dianggap sama dengan menyembah Tuhan karena patung itu perwujudan Tuhan juga.

Atau paling kurang orang tasawuf menganggap jihad terbesar itu jihad melawan diri sendiri karena berlandaskan hadits dha'if sehingga mengecilkan jihad/perang melawan musuh Islam yang sesungguhnya merupakan amal tertinggi dalam Islam. Dan tidak sedikit orang tasawuf yang manhajnya (sistem pemahamannya) tak sesuai manhaj Islami, hingga mimpi pun mereka jadikan landasan ibadah.

Ada yang tergiur dengan Islam liberal, karena menganggap tokoh-tokohnya seperti Nurcholish Madjid itu orang intelek, padahal pemahamannya mengacak-acak pemahaman Islam, menafikan fungsi fiqh dan menafsirkan istilah Islam semaunya. Ada yang masuk ke Jama'atul Muslimin Hizbullah yang mewajibkan bai'at dan mengaku tak berpolitik padahal aliran itu didirikan oleh Wali Al-Fatah yang dulunya jelas orangnya Soekarno, sebagai Kepala Biro Politik. Ada yang masuk ke kelompok Hizbut Tahrir yang menolak hadits Ahad sebagai landasan aqidah.

Tidak sedikit pula orang yang masuk ke Jama'ah Tabligh yang menjadikan mimpi syaikhnya sebagai landasan dakwah (yaitu khuruj, keluar dari rumah atau kampung dalam tempo-tempo tertentu untuk apa yang mereka sebut dakwah) dan membesar-besarkan amaliah yang kecil-kecil sehingga seolah mengalahkan amaliah yang besar bahkan paling besar seperti jihad, hingga seolah jihad itu dikecilkan. Mereka juga tidak menekankan thalabul 'ilmi (menuntut ilmu), hingga berdakwah tanpa ilmu menjadi praktik umum di kalangan mereka, akibatnya sering menyampaikan Islam dengan tidak benar.

Contohnya, rombongan Jama'ah Tabligh ada yang berceramah di masjid dekat tempat saya. Dia katakan, minum sesuai dengan sunnah itu pahalanya melebihi 400 kali mati syahid. Orang yang tidak pakai peci/kopiah dia katakan fasik. Lantas dia katakan, kami ini bukan Ahlus Sunnah, karena kami semua ini baru belajar.

Terpaksa setelah selesai ia berceramah saya katakan padanya di hadapan para jama'ah yang hampir memenuhi masjid: Ya akhi, anda makin banyak bicara makin banyak salahnya. Maka bertaubatlah.

Para jama'ah kaget dengan ungkapan saya itu. Untuk menghilangkan kekagetan mereka dan untuk menghindari kerancuan pemahaman, maka saya jelaskan, minum sesuai dengan sunnah itu, hukum minum itu sendiri hanyalah mubah/sesuatu yang boleh dikerjakan. Kenapa dibandingkan dengan jihad, yang hal itu merupakan amaliah tertinggi dalam Islam?

Orang yang mati dalam jihad itu namanya mati syahid, itu mati yang paling mulia, jaminannya surga, (kecuali ada sangkutan lain misalnya utang, atau menggelapkan barang rampasan perang yang bukan bagian dia atau belum dibagi tapi dia gelapkan. Masalah menggelapkan barang itu ada haditsnya, hingga Nabi menyebut pelakunya masuk neraka). Kenapa tadi penceramah mengatakan 400 kali mati syahid? Sekali mati ya mati, dan itu mati yang tertinggi.

Lalu saya lanjutkan, kenapa orang tidak pakai peci disebut fasik? Sedangkan ketika ihram haji justru dilarang pakai peci. Apakah orang berhaji itu sama dengan disuruh fasik alias keluar dari ketaatan pada Allah? Untuk memfasikkan orang itu harus ada dalilnya. Lantas tentang Ahlus Sunnah, kenapa anda katakan, "Kami bukan Ahlu Sunnah tapi baru belajar". Itu perkataan apa? Bukan Ahlu Sunnah itu berarti Rafidhah atau Syi'ah, atau Khawarij, atau Inkar Sunnah, atau aliran-aliran sesat lainnya. Semua yang anda katakan itu tadi jelas salah, maka saya katakan, bertaubatlah.

Kemudian siang harinya, ketua rombongan Jama'ah Tabligh itu tidak terima dengan teguran saya tadi malam. Lalu saya tanyakan padanya, anda tahu tidak, apa arti fasik? Dia jawab, tidak tahu. Saya katakan, kalau tidak tahu, jangan menyiarkan. Islam ini agama Allah. Untuk menyiarkannya, harus tahu apa sebenarnya.

Ungkapan saya itu justru mereka tanggapi, apakah untuk menyiarkan agama ini musti (kata "mesti" kadang diucapkan dengan "musti", pen) kita harus belajar dulu ke Al-Azhar Mesir?

Astaghfirullaahal 'azhiem. Saya katakan, untuk mengajari orang tentang mesin motor saja, anda harus tahu lebih dahulu. Padahal itu hanya bikinan manusia dan wujud barangnya ada. Apalagi mengajar tentang agama, tentu harus lebih tahu. Ini bukan masalah mesti harus belajar ke Al-Azhar.

Mereka masih berkilah dengan mengemukakan hadits ballighuu 'annii walau aayah. (Sampaikanlah (apa-apa) dariku (Muhammad) walaupun satu ayat). Maka ya kami sampaikan.

Saya katakan, bagaimana menyampaikan sesuatu ayat yang kamu sendiri tidak tahu. Untuk menyampaikan, itu tentu saja harus tahu materi yang akan disampaikan. Lafal 'annii (dariku) dalam hadits ballighuu... itu, orang yang disuruh menyampaikan itu mesti tahu bahwa ayat itu benar dari Rasulullah, dan tahu maksudnya secara benar seperti yang disampaikan oleh Rasulullah. Jadi materinya diketahui bahwa itu memang benar dari Rasulullah, sedang maknanya juga diketahui bahwa itu benar sesuai dengan yang dimaksud Rasulullah. Jadi walaupun satu ayat, harus disampaikan, maksudnya adalah penyampaian seperti yang dikatakan Rasulullah dan yang beliau maksud. Sehingga, ketika sampai kepada masyarakat itu bukan barang palsu, tetapi barang yang masih asli, karena masih sesuai dengan sumber aslinya. Sehingga suruhan untuk menyampaikan itu maksudnya agar apa yang dibawa oleh Rasulullah itu sampai kepada masyarakat, sesuai dengan aslinya. Para penyampai itu tugasnya hanya menyampaikan apa adanya. Bukan membikin-bikin aturan agama secara baru.

Sejak peristiwa itu, sudah setengah tahun, tampaknya orang-orang dari Jama'ah Tabligh tidak ada yang datang-datang lagi ke masjid itu. Saya pikir, apakah ini model LDII pula? LDII itu punya semboyan, "Kebo-kebo maju, barongan-barongan mundur." Maksudnya, kalau menghadapi orang biasa (orang biasa itu oleh LDII dianggap kerbau, bodoh, tak tahu agama), maka orang LDII harus maju untuk mempengaruhi mereka agar masuk ke LDII. Tetapi kalau menghadapi barongan (barongan artinya rumpun pohon bambu berduri, orang LDII menganggap orang yang tahu agama adalah barongan ori/rumpun bambu duri) maka orang LDII harus mundur, tidak usah mempengaruhinya. Ini bukan berarti saya mengaku-aku sebagai orang yang tahu agama, namun hanya untuk membandingkan antara satu aliran sesat dengan aliran menyimpang lainnya.

Demikianlah. Sebenarnya di masyarakat senantiasa terjadi gesekan-gesekan antara aliran sesat, paham rancu dan yang tak mementingkan ilmu, berhadapan dengan penegak kebenaran Islam. Umat pun menghadapi masalah itu dengan kecenderungan masing-masing, tanpa dilandasi ilmu. Bagi mereka, kalau sesuai dengan adat kebiasaan, maka diterima. Atau kalau dianggap menguntungkan, maka diterima. Masyarakat baru takut menerima suatu ajaran apabila ajaran itu jelas dilarang oleh pemerintah.

Sayangnya, pemerintah justru mengangkat orang dari aliran sesat sebagai peneliti utama tentang agama, hingga yang sesat-sesat itu dipersilahkan dengan leluasa, dan dilindungi.

Sebaliknya, kadang justru kyai, muballigh, pengajar ngaji yang menegakkan Al-Qur'an dan As-Sunnah, memberantas kemusyrikan, perdukunan, khurafat, bid'ah dan takhayul, justru pemberantas kesesatan itu diusir ramai-ramai oleh masyarakat, tanpa mendapat perlindungan dari pihak pemerintah. Seorang ustadz di Bogor Jawa Barat, Ustadz Yazid Jawas, terpaksa hijrah dari masjid yang ia pimpin karena diusir dan diancam paksa oleh kelompok pendukung bid'ah. Padahal ustadz ini sudah mendapat rekomendasi dari MUI bahkan dikorankan, bahwa ajarannya tidak menyimpang. Tetapi pihak pemerintah yang memang keadaannya seperti tergambarkan tersebut, tidak ada tanda-tanda untuk melindungi ustadz yang ingin menegakkan kebenaran itu. Jadi sangat aneh. Kepada aliran sesat lagi menyesatkan, pihak pemerintah dan oknum-oknumnya tampak membela. Namun terhadap ustadz yang ingin menegakkan agama secara baik, sesuai dengan ajaran sebenarnya, justru dibiarkan terusir.

Kembali pada masalah buku-buku yang menyesatkan, setiap hari buku-buku sesat itu dijajakan kepada masyarakat. Sampai-sampai ketika manusia Indonesia sedang keranjingan-keranjingannya judi secara nasional di masa pemerintahan Soeharto tahun 1985-an yaitu judi nasional yang disebut Porkas kemudian bernama SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah), saat itu beredar buku Mujarabat Ampuh. Buku perklenikan perdukunan namun dicampur dengan do'a-do'a, kadang ada juga yang dicampur dengan pashalatan namun penuh dengan nuansa perdukunan semacam itu tidak pernah diteriaki oleh Litbang Lektur Agama. Para muballigh pun karena model ceramahnya sudah model pelawak, sebagian banyak, maka hampir tak pernah terdengar menyinggung-nyinggung buku-buku yang sesat menyesatkan itu.

Akibatnya, seperti contoh di atas, saya menasihati pedagang buku gendong di lingkungan masjid, malah saya dibantah keras-keras. Demikian pula ketika saya memberikan pengertian kepada penjual buku di toko buku tentang haramnya memakai jimat, justru saya dikeroyok. Mereka beralasan, kalau berani bicara jangan
kepada kami, karena kami ini hanya penjual. "Sana, penerbitnya sana, atau pemerintah atasan sana, tegurlah mereka, kalau kamu berani!" seru para padagang di toko buku yang lengkap dengan peci tingginya hingga tampak benar-benar santri itu dalam keadaan matanya mendelik kepada saya.

Itulah kondisinya, apa-apa yang tidak dilarang oleh pemerintah, itu menurut masyarakat adalah boleh-boleh saja. Sebagaimana orang LDII yang ajarannya jelas sesat dan menyesatkan pun, pernah di antara mereka berkilah, siapa yang bilang LDII itu sesat. Buktinya LDII tidak dilarang, justru kalau ada acara-acara penting didatangi pejabat pula. (Malah ada kelompok aktivis Islam yang rajin menumbuhkan partai barunya dengan aneka cara, di daerah saya lihat berangkulan dengan LDII).

Kilah orang LDII seperti itu pernah kami (secara kelembagaan) hadapi langsung, dan kami tanyakan pada orang LDII tersebut: "Kamu tahu tidak, berzina itu terlarang dalam agama?" Dia jawab, tahu. Lantas saya tanya, kamu tahu tidak, bahwa pemerintah itu membiarkan saja pelacuran di mana-mana, bahkan memberikan lokasi khusus, kemudian diprotes oleh umat Islam beramai-ramai saja sulit sekali dihapuskannya? Orang LDII di wilayah Halim Perdana Kusumah Jakarta itu hanya memonyongkan mulut. Lantas saya lanjutkan: Pelacuran dibiarkan saja oleh pemerintah, itu sama sekali tidak mengurangi keharamannya. Demikian pula LDII dibiarkan oleh pemerintah, (atau dirangkul oleh aktivis partai yang mengaku Islam) itu tidak mengurangi nilai kesesatannya. Bahkan sampai didukung oleh pemerintah pun (atau didukung oleh partai yang mengaku tepat pilihan umat pun), tidak mengurangi nilai kesesatannya.

Demikianlah, dalam kasus-kasus tertentu ternyata justru adanya pemerintahan di sini malahan sebagai tameng bagi penjaja-penjaja kesesatan. (Ditambah lagi, adanya kepentingan partai pun kadang secara tidak langsung adalah melindungi aliran sesat).
Paling kurang adalah dalam mempertahankan kesesatan di hadapan orang yang ingin menasihati atau bahkan memberantasnya, seperti contoh-contoh tersebut. Dan itu kasus-kasus nyata.

Memang umat Islam banyak dirugikan oleh pihak penguasa di sini, dari zaman penjajah Belanda sampai zaman berganti-gantinya penguasa setelah merdeka 1945. Mereka belum pernah dirasakan oleh umat Islam sikap simpatinya terhadap syari'at Islam dalam kebijakan-kebijakannya. Sehingga justru sering dirasa mengganjal apa-apa yang menjadi hak kelangsungan umat Islam. Di samping mengganjal, masih pula membiarkan umat Islam yang mengamalkan agamanya dengan konsekuen terusir, dipecundangi oleh kelompok sesat. Sebaliknya, justru kelompok-kelompok sesat dan penjaja-penjaja kesesatan yang merusak aqidah dan agama justru dibela. Itu belum masalah sikap pemerintah yang biasanya membela kemaksiatan-kemakisatan dan menghadapi umat Islam.

Secara fungsi, dari kenyataan itu bisa ditarik kesimpulan, tidak lain adalah masing-masing pihak memerankan perannya. Satu pihak yaitu mereka pakai pakaian seragam sebagai petugas yang mendukung program setan, dilaksanakan dengan membela kesesatan dan kemaksiatan sambil mengeruk duit sana sini. Di pihak lain,
yaitu umat Islam yang teguh dengan agamanya, fungsinya sebagai hamba yang mengabdi kepada Allah, menegakkan kebenaran dan memberantas kesesatan serta kemaksiatan.

Kalau ditanyakan, apakah dari kelompok yang mengemban perintah setan itu tidak ada yang beragama Islam? Pertanyaan itu sama dengan menanyakan, apakah mereka yang praktik perdukunan, menjual buku-buku klenik ajaran setan dan sebagainya itu tidak ada yang beragama Islam? Jawabnya, bukan saja ada, tetapi bahkan ada yang
disebut kyai haji. Tidak sedikit.

Kalau begitu, faktornya bukan hanya pemerintah, dong! (Maaf, ini pakai dong, segala).

Ya. Bukan hanya orang pemerintah, tetapi kalau bukan orang pemerintah, maka tidak punya kebijakan apa-apa yang bisa diterapkan kepada masyarakat. Seperti saya, karena bukan pemegang kebijakan di pemerintahan, maka menegur pedagang buku gendong di masjid saja dipelototi. Tetapi kalau yang menegur itu Pak Lurah/ Kades, tingkat pejabat desa, tidak usah tinggi-tinggi, paling kurang si pedagang itu untuk melotot masih pikir-pikir. Ini bukan berarti masyarakat yang menjajakan kesesatan itu tidak salah, tetapi adanya mereka tetap menjajakan kesesatan itu karena tidak ada larangan dari pemerintah.

Jadi, alangkah beratnya pertanggungjawaban orang-orang pemerintah nanti di akherat kelak. Gaji dan korupsi mereka tidak bisa untuk menebus tanggung jawab yang sebesar itu. Lagi pula Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak butuh harta, apalagi harta korupsi, misalnya. Belum lagi, misalnya mereka jadi pejabat itu hasil main dukun. Maka lebih berat lagi. Dari punggawa desa sampai pejabat tinggi negara wajib bertanggung jawab atas tersebarnya kesesatan yang mereka biarkan itu. Sebagaimana wajibnya mereka memberantas narkoba, narkotika dan obat-obat terlarang. Namun umat Islam tidak boleh hanya berharap kepada pemerintah yang sudah ketahuan sebegitu tidak berkualitasnya. Menunggu kebijakan mereka yang tidak bijak itu sama dengan mempersilakan suburnya aneka kesesatan. Dan itu bisa menimpa keluarga dan anak cucu kita. Apakah kita rela?

Sumber: Buku “Aliran dan Paham Sesat di Indonesia”, Hartono Ahmad Jaiz, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta, Februari 2002.
--