Ada yang memang disengaja oleh pesantren Al-Zaytun yang dimana secara terbuka mengumandangkan pernyataan-pernyataan bombastis melalui media resminya majalah Al-Zaytun pada edisi perdananya dalam kolom "Mewujudkan Konsep Ulul-Albab di Ma’had Al Zaytun". Pada akhir penutup kolom tersebut tertulis tentang Syaikh Al Ma’had, sebagai berikut:
Dan yang terpenting adalah Ma’had Al-Zaytun dipimpin oleh seorang Syaikh yang mempunyai wawasan jauh ke depan menembus abad dan milenium, menembus sekat bangsa dan negara. Berpengetahuan luas, berwibawa, tegas, kebapakan, pandai memanfaatkan, sifat dan sikap lainnya yang layak dimiliki oleh seorang pemimpin.
Dengan hadirnya Ma’had Al-Zaytun, telah membangkitkan harapan dan semangat baru bagi ummat Islam Bangsa Indonesia untuk meraih kembali kemenangan yang pernah dicapai. Hadirnya Ma’had Al-Zaytun adalah langkah pertama Ummat Islam untuk mengejar ketertinggalannya dari ummat lain sekaligus sebagai langkah pertama bangsa Indonesia untuk mengejar ketertinggalannya dari bangsa lain.
Kehadiran Ma’had Al Zaytun juga telah memberikan keyakinan kepada Ummat Islam bahwa abad 21 adalah abad kebangkitan Islam. Kebangkitan dan kemenangan Islam akan dimulai disini. Di Ma’had ini. Insya Allah.
Dan pada kolom Olahraga juga dituliskan antara lain: ”Dengan keyakinan, bahwa suatu ketika nanti, Ma’had Al-Zaytun akan menjadi pusat perhatian dunia, centre of power, centre of culture dan centre of knowledge.”
Ada pula statemen Syaikh Al Ma’had AS Panji Gumilang dalam acara dzikir Jum’at, 28 Mei 1999, antara lain:
Tolok ukur kemajuan suatu bangsa dapat dilihat dari ada tidaknya putra bangsa itu yang mendapatkan hadiah Nobel. Selama ini belum pernah ada orang Indonesia yang mendapatkan hadiah Nobel. Itu berarti pendidikan sebagai tempat menggodok putra bangsa belum maju.
Lebih lanjut dalam rubrik Fikir dan Tanggap: Membangun Mozaik Pemikiran Islam Indonesia, disebutkan:
…Karenanya untuk menggairahkan kembali pemikiran Islam di Indonesia harus dipahami dalam konteks yang lengkap tentang permasalahan yang membalut ummat Islam Indonesia, bisa dikatakan masih dalam taraf ‘transisi intelektual’, karena itu akan terasa sumbang apabila pemikiran Islam dari negeri-negeri muslim yang sudah mencapai taraf ‘tinggal landas’.
Artinya, pemikiran Islam di Indonesia tidak benar kalau diasumsikan gagal sama sekali, yang sebenarnya hanya belum mampu sejajar dengan negeri-negeri yang telah mapan. Untuk mencoba bersikap adil dalam menempatkan perkembangan pemikiran Islam Indonesia dalam percaturan Internasional haruslah disebutkan fakta empiris yang menjadi kendala utamanya.
Hingga saat ini di Indonesia belum ada lembaga penelitian pemikiran ke-Islaman yang solid dengan kelengkapan sarana dan prasarana yang standard. Paling tidak yang terpenting adalah perpustakaan yang sophisticated dan dikelola secara profesional. Di Pakistan, sebagai perbandingan, sejak tahun 1962, telah mempunyai Islamic Research Institute di bawah kepemimpinan Fazlur Rahman ‘neo- modernis’ yang menjadi ‘kiainya’ Nurkhalish Majid. Di India, meski mayoritas penduduknya beragama Hindu, ada Jamia Milla Islamia (Islam and the Modern Age) yang setiap tiga bulan menerbitkan jurnal Ilmiah.
Di negeri jiran Malaysia ada The Foundations For Traditional Studies yang dipimpin oleh Naquib al Atas. Semuanya itu belum kita miliki. Ada juga lembaga kajian Islam Paramadina yang dipimpin Nurcholish Majid, jelas belum menampilkan yang terbaik bagi ummat, karena sarana dan prasarana yang pas-pasan. Muhammadiyah, sebagai organisasi terbesar di Indonesia sampai sekarang belum mempunyai lembaga pengkajian ke-Islaman. Kadernya, seperti Amien Rais, Syafi’i Ma’arif, Kuntowijoyo dkk, mereka menjadi karena ‘bakat alam’.
CIDES, Lembaga Pengkajian dan Penelitian di bawah badan otonomi ICMI – pada awal kelahirannya disambut gegap gempita sudah surut bersamaan dengan pudarnya Orde Baru dan lengsernya Soeharto dengan ‘murid-muridnya’, juga belum memberikan andil berarti untuk mengangkat ummat dari keterbelakangan. Kita tidak bisa berharap banyak dari kondisi semacam ini. Perkembangan pemikiran Islam seperti yang kita saksikan sekarang, belum cukup menggembirakan, apatah lagi dengan berbangga dengan yang kita capai.
Melihat potret pemikiran Islam di Indonesia, belum muncul lompatan pemikiran baru dari intelektual selain Nurcholish Majid, tapi dirasakan pemikirannya telah mampu mendobrak kejumudan yang membalut ummat Islam selama ini. Kita memang telah ketinggalan dalam segala hal. Bangsa lain telah menyebarkan gagasan, ide dan ilmu, sedangkan kita baru sanggup mengunyah segala gagasan, ide dan ilmu produksi mereka. Kita masih asyik dengan masalah ritual – furu’iyah, sementara mereka telah mengkonsep kehidupan masa depan. Kita masih jalan di tempat, mereka telah terbang.
Tak ada cara lain untuk memintas keterbelakangan itu, kecuali melalui jalur pendidikan yang selalu ditingkatkan kwalitasnya dan memperbaharui metode terus-menerus. Kita tidak akan kekurangan calon ilmuwan, karena stock penuh, sumber alam pun berlebihan, kalau kita mau. Kita telah berada di lintasan sprint ber-fastabiqul khairat, bersaing maju, berarah program, dinamis dan menang. Insya Allah, cita-cita ummat Islam bangsa Indonesia pasti terwujud.
Maka apa yang menjadi obsesi Syaikh Al Ma’had untuk menciptakan pemenang hadiah Nobel akan muncul dari Indonesia. Memasuki milenium ke-3, secercah sinar bagi dunia, muncul dari Ma’had Al- Zaytun, siap mengambil-alih komando pencerahan pemikiran Islam. Tentu dengan segala sarana bagi para ilmuwan untuk melakukan research telah pula disiapkan di Ma’had Al Zaytun.[11]
Dan dalam edisi yang sama majalah Al-Zaytun ini, melalui rubrik Jendela Sejarah terdapat statemen nekat:
Kita harus berani merobah paradigma ummat yang selalu beranggapan bahwa ummat Islam lemah, miskin, kumuh dan sebagainya, dengan menghimpun kelemahan serta memenejnya dengan baik dan sempurna sehingga menjadi kekuatan. Seperti hadits Nabi saw: Innama tansharuna waturzaquna bi dlu’afaikum. Selanjutnya mengarahkan segala potensi yang ada untuk membentuk satu generasi / kader ummat yang ‘Basthatan fil ‘Ilmi wal Jismi’. Melalui pendidikan yang komprehensif. Kemudian memperkuat ekonomi yang dapat menunjang majunya pendidikan dan pendidikan yang berorientasi pada ekonomi, yaitu apa yang disebut dengan Pendidikan Ekonomi atau Ekonomi Pendidikan, sehingga output pendidikan dapat dan mampu mandiri.
Cara terakhir ini pada umumnya dipelopori oleh pesantren, yaitu spirit pesantren yang berabad-abad lalu telah hadir di bumi Indonesia ini. Dengan spirit pesantren ummat Islam mampu bertahan dan bahkan berkembang, sekalipun dijajah dan ditempa berbagai cobaan dan ujian. Namun dalam menyongsong abad kini, spirit pesantren perlu dipermodern, seperti yang sering diungkapkan oleh Syaikh Al Ma’had Al Zaytun dengan:’Pesantren Spirit but Modern System’
Langkah-langkah di atas terlihat dalam arah dan tujuan pendidikan di dalam Ma’had Al-Zaytun yaitu ‘mempersiapkan peserta didik untuk beraqidah kokoh kuat terhadap Allah dan Syari’at Nya, menyatu dalam tauhid, ber akhlaqul karimah, berilmu pengetahuan luas, berketerampilan tinggi yang tersimpul dalam ‘Basthatan fil ‘Ilmi wal Jismi’ sehingga sanggup, siap dan mampu untuk hidup secara dinamis di lingkungan negara bangsanya dan masyarakat antar bangsa dengan penuh kesejahteraan dan kebahagiaan duniawi maupun ukhrawi.
Dengan didukung oleh sarana yang memadai, Insya Allah Ma’had Al zaytun mampu mengembalikan dan menata dunia ini dengan penuh rahmat, toleransi dan perdamaian. ‘Salamun ‘alaikum la nabtaghil jahilin’, Semoga keselamatan atas kamu dan kami tidak mau menjadi orang-orang bodoh. [12]
Itulah cuplikan yang telah jelas-jelas tersurat dari media Al-Zaytun di dalam kiatnya membangun citra dan kesan sebagai lembaga yang mewakili Islam wal Muslimin, representasi lembaga pendidikan Islam modern.
Sampai saat ini belum tampak seorang pun dari ummat bersikap kritis terhadap latar belakang mereka yang sebenarnya, dari mana asal muasal sumber dana mereka dan lain sebagainya. Hatta sekalipun telah bergulir isu-isu miring tentang apa dan siapa serta bagaimana sebenarnya Al-Zaytun dengan AS Panji Gumilang, melalui mass media dan kemudian disusul dengan terbitnya karya tulis Al Chaidar tentang Al-Zaytun, AS Panji Gumilang dengan Abu Toto tokoh sentral KW-9 (Komandemen Wilayah Sembilan), salah satu sayap yang dianggap sesat dari gerakan DI atau NII oleh kalangan intern DI/NII sendiri. [13] Ternyata masih belum mendapatkan respon yang positif dari kalangan ummat.
Mitos yang dikemas dalam motto, slogan dan rangkaian kalimat maupun bentuk fisik bangunan serta kondisi sarana pendukung lingkungan pesantren Al-Zaytun yang didendang-dengungkan secara berlebih-lebihan, sesungguhnya layak mengundang pertanyaan atau kewaspadaan, dan kalau perlu kecurigaan dari kalangan ummat Islam.
Setidaknya, muncul dan berdirinya Al-Zaytun, At-Tien dan yang lainnya, ummat mensikapi secara kritis, jujur dan jernih serta bersedia melakukan tabayyun (konfirmasi) kepada pihak-pihak yang dianggap memiliki kompetensi, maka niscayalah mereka tidak akan tertipu atau terpedaya oleh berbagai mitos yang diciptakan dan melekat padanya tersebut.
Sayangnya, pihak-pihak seperti DDII (Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia), MUI (Majelis Ulama Indonesia Pusat hingga Daerah) maupun yang lain, ternyata baru tahu tentang kebermasalahan Al-Zaytun setelah awal tahun 2000. Itupun setelah melalui pemberitahuan interpersonal yang intensif tentang banyaknya korban doktrin KW-9 pimpinan Abu Toto, Syaikh Al Ma’had Al-Zaytun. Para korban itu telah mengadukan (berkonsultasi) langsung ke Penulis. Pada akhirnya dalam penelitian dan pelacakan yang Penulis lakukan terhadap sejumlah para wali murid atau keluarga santri Ma’had Al-Zaytun, ternyata sangat mengejutkan sekaligus memprihatinkan. [14]
Sebelumnya DDII melalui Bulletin Ukhuwah sempat ikut memperkenalkan Al-Zaytun, demikian pula pihak MUI pusat, merekalah yang getol menganjurkan majelis-majelis ta’lim untuk ziyarah, melihat dari dekat tentang kemegahan pesantren Al-Zaytun, dan untuk selanjutnya mempersilahkan ummat Islam menyerahkan kepercayaan dalam pendidikan anak-anaknya ke pesantren Al-Zaytun tersebut.
Akibatnya, ummat pun berbondong-bondong ke Al-Zaytun dan bahkan ada yang mengkhususkan diri untuk urusan tour dan ziarah ke Al-Zaytun bersamaan dengan paket tour dan ziarah ke kubur-kubur yang mereka sebut keramat. Betapa besar dampak “anjuran” lembaga Islam yang kurang waspada tersebut.
Lembaga-lembaga dakwah, masyarakat luas, para simpatisan dan calon wali santri Ma’had Al-Zaytun seyogyanya mampu bersikap kritis dan waspada dalam mencermati pendirian lembaga maupun penyelenggaraan pesantren Al-Zaytun ini, yang secara faktual telah menunjukkan bahwa para pengelola dan tokoh Ma’had Al-Zaytun, tidak terkecuali Abu Toto Abdus Salam (AS) Panji Gumilang, ternyata bukanlah tokoh pendidik dan belum pernah pula memiliki bukti keberhasilan maupun pengalaman atau jam terbang dalam mengelola dan menyelenggarakan pesantren, sekalipun untuk ukuran sebuah pesantren yang kecil dan sederhana, kecuali keberhasilan dalam mengorganisir gerakan bawah tanah NII (Negara Islam Indonesia) yang penuh misteri dan kontroversi.
Namun mengapa masyarakat luas dan bahkan beberapa tokoh pesantren menjadi tumpul daya kritisnya melihat kenyataan yang ada? Para tokoh pendiri dan pengelola Ma’had Al-Zaytun sama sekali tidak punya pengalaman, kecuali bukti megahnya fisik dan lengkapnya prasarana pesantren serta setumpuk rencana, target dan janji. Bahkan di antara masyarakat intelek seperti ICMI malah secara latah --bahkan salah kaprah dan terburu-buru-- menjadikan Ma’had Al-Zaytun sebagai contoh model bahkan bentuk ideal penyelenggaraan Pesantren Terpadu.
[11] Abu Hani Ar Ridla, “Islam Masa Lampau Dan Kini”, Majalah Al Zaytun, edisi Februari 2000, hal 95.
[12] Ibid, hal. 95.
[13] Lihat Al Chaidar, Pemikiran Politik Proklamator NII SM Kartosoewirjo, Fakta dan Data Sejarah Darul Islam, Jakarta: Darul Falah, 1999. Juga buku lainnya, Sepak Terjang KW9 Abu Toto, Jakarta: Madani Press, 1999.
[14] Berdasarkan penuturan salah satu keluarga santri Al-Zaytun angkatan pertama.