Syahdan, untuk pertama kalinya dalam proses belajar mengajar di Al-Zaytun berjalan "tertib, lancar dan disiplin", para santri terlihat sangat patuh pada peraturan pesantren, bahkan kepatuhan anak-anak tersebut terkesan berlebihan dalam satu sisi namun kurang pada sisi lain. Hal yang berlebihan adalah, para santri memiliki kepatuhan yang demikian tinggi kepada aturan dan disiplin pesantren maupun para asatidz (guru) serta para pengurus Yayasan, sementara kepatuhan dan disiplin akhlaq serta peribadatan, ternyata sama sekali tidak ditanamkan.
Akibatnya, di dalam pelaksanaan shalat berjama'ah sangat terlihat, betapa masalah yang sebenarnya sangat fundamental ini ternyata dilaksanakan secara "serba asal". Demikian pula disiplin dan tertib pergaulan antara santri putra-putri, tidak ada batasan (hijab) sama sekali. Bebasnya dalam berhubungan antara santri putra-putri, menjadi pemandangan yang biasa di lingkungan Al-Zaytun, seperti sengaja tidak mendidik para santrinya untuk mencapai tingkat penguasaan nilai-nilai akhlaq al karimah-keshalihan. Kenapa? Karena sudah sejak awal antara santri putra-putri dibiasakan bergaul bebas dalam proses belajar di satu ruang kelas, bercanda-ria setelah shalat di lingkungan asrama yang tidak ada dinding pembatas sama sekali, bahkan di gedung Al-Musthafa lantai I khusus putra, lantai II separoh putra separoh putri tanpa ada dinding pembatas/hijab. Makan dan jajan berbaur bersama-sama di kantin, dan banyak lagi kejadian-kejadian "tak wajar" yang penulis perhatikan bila itu diukur dengan standar pesantren Islami. Bahkan, para pengajarnya (asatidz dan asatidzah) terlihat seperti memberi contoh yang tidak lazim untuk dilakukan di lingkungan pesantren (seperti makan baso, ngobrol dan bercengkerama bersama di kantin). Praktis yang memisahkan hubungan santri putra-putri itu ketika saat istirahat atau tidur saja, itu pun masih cukup rentan, karena letak asrama antara santri putra-putri nyaris bisa dikata sama sekali tidak ada dinding pemisah.
Kurangnya disiplin para santri terhadap tata nilai (akhlaq) dan pranata {syari'ah) dalam perkara 'ubudiyah maupun mu'amalah tersebut, pada akhirnya menjadikan mereka terjebak pada sikap dan tindakan menyia-nyiakan (melalaikan) shalat, bukan pada pelaksanaan secara berjama'ahnya, akan tetapi benar-benar menganggap sepele terhadap arti dan pelaksanaan shalat secara lahiriyah.
Pada awal pembelajaran dilaksanakan, doktrin kepatuhan, mempercayai para asatidz dan Syaikh ma'had serta para pengurus Yayasan sebenarnya sudah mulai ditanamkan, namun tidak dilengkapi dengan menanamkan kesadaran beriman dan ber-Islam. Sering dijumpai oleh banyak penziarah (pada masa awal dahulu) jawaban yang aneh dan mengagetkan siapa pun, ketika pertanyaan tentang shalat diajukan kepada mereka.
Ketika tiba waktu Ashar, para santri yang bermain tidak menunjukkan tanda-tanda bersiap-diri untuk melaksanakan shalat ke Masjid secara berjama'ah, sebagaimana kebiasaan yang lazim berlaku di lingkungan pesantren mana pun, padahal suara adzan telah terdengar dikumandangkan. Sampai lebih dari satu jam kemudian, mereka masih juga belum shalat. Ketika hal tersebut ditanyakan kepada mereka, dijawab dengan enteng dan diplomatis: "Kan sudah ditanggung Imam…” [28] Atau, jawaban seperti ini: "Sekarang kan masih periode Makkah…” Jawaban yang seperti ini juga yang sering diberikan oleh para pegawai atau karyawan Ma'had Al-Zaytun.
Yang juga terlihat oleh penulis, para petugas keamanan (Tibmara dan Garda Ma'had) maupun pekerja bangunan terlalu asyik dengan tugasnya masing-masing. Dari mulai sebelum masuk waktu shalat Ashar tidak ada tanda-tanda menghentikan aktifitas mereka untuk melakukan shalat, hingga waktu menunjukkan pukul 17.15. Begitu usai bekerja, ternyata tidak ada seorang pun yang mampir ke masjid al-Hayat, akan tetapi terus pulang ke asrama atau mess karyawan yang letaknya bersebelahan dengan kompleks bangunan pesantren.
Di balik "kemegahan" Al-Zaytun ternyata masih tetap menyimpan berbagai masalah, baik masalah sosial maupun agama. Warga di empat desa yang mengitarinya sudah banyak yang mengeluh. Apalagi mereka mendapati banyak "keganjilan" yang selalu disuguhkan oleh komunitas ma'had, seperti terlihatnya para pekerja bangunan yang tidak shalat, begitupun mengenai praktek shalat masbuq yang berbeda (melanggar) ketentuan. Bahkan warga pernah menyaksikan, ada di antara para pengurus Yayasan Ma'had Al-Zaytun yang seusai buang air kecil (kencing) tidak beristinja' (tidak berbasuh alias tidak cebok). Itu terjadi pada saat melakukan pengukuran tanah warga yang akan dibeli. Ketika hal itu ditanyakan oleh salah seorang warga, pengurus Yayasan/Ma’had Al-Zaytun menjelaskan bahwa sekarang ini kondisinya sedang berjuang dan sifatnya darurat.
Berdasarkan hasil penelitian penulis ke rumah-rumah warga di sekitar lokasi Ma'had Al-Zaytun berada, keresahan warga terhadap keberadaan ma'had dengan komunitasnya tidak bisa dielakkan. Ini pertanda bahwa kehadiran Ma'had Al-Zaytun sama sekali tidak membawa dampak positif bagi warga di sekitar lokasi.
Harapan Siti Puji Rahayu yang dimuat pada majalah Al-Zaytun edisi 9-2000 agar keberhasilan Al-Zaytun akan merembet ke masyarakat, rasanya tidak akan terpenuhi. Setetelah penulis langsung menangkap kesan dari masyarakat sekitar ma'had, ternyata harapan seperti itu bagai pungguk merindukan bulan. Begitu pula usulan agar ditumbuhkan kehidupan masyarakat di sekitar ma'had yang lebih baik, dapat dipastikan tidak akan pernah terwujud. Karena, walaupun Ma'had Al-Zaytun mempunyai banyak jenis kegiatan (pekerjaaan), tapi hal itu sama sekali tidak melibatkan masyarakat di sekitar.
Yusnanto (nama samaran) menuturkan, "Dulu, waktu pertama pembangunan saya pernah melamar kerja ke Al-Zaytun. Saat itu saya berpikir, apa salahnya orang desa turut bekerja setelah melihat begitu besarnya proyek pembangunan.” Sayang, keinginan Yusnanto itu tidak terwujud. Ia memperoleh jawaban dari pengurus Al-Zaytun agar membuat permohonan izin terlebih dahulu dan mengurusnya ke Jakarta, karena seluruh proyek pekerjaan Ma’had dikoordinir oleh ABRI. [29] Merasa dirinya ditakut-takuti, akhirnya Yusnanto membuang harapannya untuk bekerja di sana. [30]
Memang, komunitas Ma'had Al-Zaytun sangat lain dari yang lain dan terkesan eksklusif (tertutup). Seperti penuturan seorang warga, "Saya menjadi heran ketika teman saya sudah masuk menjadi komunitas Al-Zaytun, tiba-tiba teman itu sudah tidak nampak lagi batang hidungnya. Padahal ketika sama-sama beermain dia sangat akrab.
Kini bila berjumpa dia selalu membuang muka seakan-akan tidak pernah kenal. Bila disapa hanya berkata: "Eh, kamu." Setelah saya selidiki, ternyata teman saya itu katanya sudah berbai'at. Pantas saja. Bahkan sekarang ini dia seakan telah menganggap saya sebagai musuh."
Kejadian tersebut membuat saya jadi berpikir yang tidak-tidak, "Apakah orang Al-Zaytun ini kumpulan orang-orang teroris?”
Tidak satu-dua kejadian saja yang membuat bingung masyarakat. Menurut pengakuan Isman (nama samaran), pernah pekerja ma'had berkata kepadanya bahwa dibangunnya Al-Zaytun adalah dalam rangka membangun Madinah kedua. [31]
Sikap tertutup (eksklusif) juga terlihat ketika mengadakan shalat Jum'at. Menurut pengalaman Jayadi (bukan nama sebenarnya) ketika ia hendak mengikuti shalat Jum'at di Al-Zaytun ternyata terlebih dahulu harus izin ke satpam dengan menyerahkan KTP. "Bagaimana ini, aturan bermasyarakat mereka ternyata tidak umum pelaksanaannya. Yang namanya shalat itu, bukankah boleh dilakukan di mana saja tanpa adanya larangan apapun."
Ditambahkannya, ternyata pihak Al-Zaytun juga kurang peduli terhadap para pekerja bangunan. Ketika ada peristiwa karyawan meninggal karena jatuh dari lantai tingkat ketika kerja, jenazahnya langsung dimasukkan ke sebuah mobil box lalu berangkat begitu saja, tanpa ada prosesi pemandian jenazah terlebih dahulu. Kemudian dibawa keluar lingkungan Al-Zaytun tidak tahu diantar entah kemana, dan itu terjadi berulang kali. Namun kini Al-Zaytun sudah memiliki mobil ambulance sendiri.
Bahkan bila melihat kehidupan rumahtangga para pekerja Al-Zaytun yang berada di tengah-tengah komunitas warga desa Suka Slamet, masyarakat desa Suka Slamet sampai sempat menilai mereka itu seperti tanaman bonsai. Mereka diharuskan hidup prihatin, siap menanggung segala penderitaan hidup. Makan hanya dengan lauk krupuk, bersayurkan kangkung rebus dan sedikit ikan asin namun memiliki pendirian, itu sebagai perwujudan dari sikap dan kesiapan jihad setiap saat. Ketika saya tanyakan kenapa sampai seperti itu, para istri mereka hanya menjawab: "Memang beginilah hidup dalam perjuangan, harus kuat dalam ujian dan cobaan kesederhanaan" Namun ketika ditanya perjuangan apa yang sedang diusahakan, mereka lantas terdiam dan tidak menjawab apa-apa. Karena memang ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Gaya hidup seperti ini pada akhirnya memprihatinkan dan selalu menjadi pembicaraan warga sekitar.
Tanggapan tentang komunitas Al-Zaytun serta implikasinya bagi warga desa Suka Slamet juga ditunjukkan Sabar Sembiring. Ia menjelaskan bahwa antara masyarakat dan komunitas Al-Zaytun terdapat kesenjangan hubungan yang sangat jauh sekali. Maksudnya, tidak ada dan tidak terjadi komunikasi sedikit pun. Karyawan yang tinggal di lingkungan warga tidak mau bermasyarakat. Mereka tidak menyadari bahwa mereka sedang berada dalam lingkungan pedesaan. Yang sebenarnya para karyawan itu sendiri banyak sekali yang dari pedesaan. "Memangnya kita ini dianggap apa sich?" Demikian ungkapnya. [32]
Sabar menambahkan, bahwa sikap arogan selalu ditonjolkan, komunitas ma'had selalu sulit untuk diajak dialog. Padahal dialog adalah sarana komunikasi yang amat penting. Dalam setiap kesempatan acara musyawarah di desa mereka tidak mau hadir, selalu ada saja alasan untuk mengelak. Kalau ada ketegangan di antara kedua komunitas itu, pihak Al-Zaytun selalu mengumbar kata-kata. "Silahkan saja berdemo siapa sich yang berani!" Jauh sebelumnya pun, untuk membungkam keberanian warga, dibuatlah berbagai isu yang disebar di lingkungan warga, yang isinya menerangkan bahwa Syaikh Ma'had Al-Zaytun adalah seorang Jendral. Itu terbukti dengan ditempatkannya beberapa militer aktif sebagai Tibmara (Ketertiban, Keamanan dan Kesejahteraan) Al-Zaytun. Sesungguhnya kekurang-beranian warga untuk berdemo bukan karena takut kepada petugas, tetapi warga merasa takut kualat terhadap ajaran Rasulullah bila mendemo pesantren.
[23] Baca juga pengakuan Bapak Mohammad Soebari paba Bab II.
[24] Ustadz Abu Bakar Ba’asyir kini Ketua AHWA (Ahlul Halli wal Aqdi) Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
[25] Irfan Suryahardy Awwas kini Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
[26] Kini Aktivis Majelis Mujahidin Indonesia (MMI).
[27] Untuk lebih jelasnya silakan baca pengantar buku Al Chaidar “Sepak Terjang KW-9 Abu Toto,” yang ditulis oleh Mufry.
[28] Maksudnya Syaikh al-Ma’had Al-Zaytun, yaitu AS Panji Gumilang.
[29] Pernyataan itu menimbulkan dua kemungkinan. Pertama, untuk menakut-nakuti rakyat kecil seperti Yusnanto, agar tidak macam-macam. Kedua, memang benar-benar proyek yang dikoordinir ABRI.
[30] Wawancara penulis dengan Yusnanto, warga Suka Slamet, Haurgeulis, Indramayu, 14 Januari 2001.
[31] Wawancara penulis dengan Isnan, warga Suka Slamet, Haurgeulis, Indramayu, 14 Januari 2001.
[32] Wawancara penulis dengan Sabar Sembiring, warga Suka Slamet, Haurgeulis, Indramayu, 14 Januari 2001.