Berdasarkan hasil investigasi lapangan oleh Penulis dan tim SIKAT, Yayasan Pesantren Indonesia mulai berminat menguasai tanah lahan produktif dan non produktif seluas 1.200 hektar tersebut adalah ketika merebak rencana pembangunan jalan tol ruas Cirebon-Subang. Secara ekonomi dan bisnis, hal tersebut, pada saat itu sangat menjanjikan prospek dan gambaran peluang bagi siapapun untuk ikut berpartisipasi memperoleh bagian keuntungan. Bahkan boleh dibilang banyak sekali pihak-pihak yang berebutan untuk menjadi spekulan dengan tujuan menguasai dan sekaligus nantinya memiliki kawasan tanah di sepanjang ruas jalan tol yang hendak dibangun oleh rezim Soeharto pada saat itu.
Di samping mengincar peluang untuk bisa menjadi pemborong ataupun supplier tanah urugan yang sangat dibutuhkan oleh kontraktor jalan tol yang jumlahnya mencapai jutaan meter kubik, maka angan-angan untuk menjualnya kembali kelak dengan harga tinggi tanah di sepanjang sisi ruas jalan tol tesebut, ataupun memimpikan menjadikannya kawasan agroindustri, wisata, pertanian dan komplek pemukiman.
Para makelar tanah memiliki jaringan tak resmi namun prosedural dengan pihak Pemda dalam hal ini adalah langsung Bupati dan aparat terkait seperti Kepala PU, BPN, Camat, Kades dan Notaris (PPAT) bahkan terkadang hingga ke Gubemur.
Tanah yang diakui milik Yayasan Pesantren Indonesia seluas 1.200 hektar di kawasan desa Gantar, Mekar Jaya, Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu, tempat berdirinya pesantren Al-Zaytun dibeli dari masyarakat setempat dengan mengatas-namakan pribadi-pribadi atau atas nama perorangan yang bertempat tinggal di desa yang sama dan tercatat sebagai pengurus dan anggota Yayasan Pesantren Indonesia (YPI).
Secara administratif, penguasaan tanah oleh Yayasan Pesantren Indonesia atas tanah masyarakat yang berstatus tanah adat tersebut, melalui transaksi jual beli yang sah, artinya memiliki tanda bukti surat akta jual beli yang dikeluarkan oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan disaksikan oleh Kepala Desa dalam bentuk stempel Kepala Desa.
Berdasarkan data akta jual beli yang ada, tanah-tanah masyarakat desa Mekar Jaya tersebut dibeli dengan harga rata-rata sebesar Rp 500 (lima ratus rupiah) setiap meter perseginya. Akan tetapi berdasarkan pengakuan para pemilik tanah itu sendiri, mereka hanya menerima pembayaran sebesar Rp 300 (tiga ratus rupiah) untuk setiap meternya. Atas kejadian ini masyarakat setempat pernah melakukan demo terhadap kepala desa dan bahkan sempat pula merusak kantor kepala desa, sehingga menyebabkan kegiatan kelurahan dilaksanakan di rumah kepala desa. Akhirnya harga beli dinaikkan menjadi Rp 700 s/d Rp 1.000 per meter persegi.
Berdasarkan contoh data yang dikeluarkan oleh kelurahan desa Mekar Jaya yang ditanda-tangani oleh Bapak Api Karpi, Kepala Desa Mekar Jaya, tertanggal 18 Februari 1997 tercatat ada sekitar sebelas nama pembeli yang kesemuanya beralamatkan Al-Zaytun dan sama sekali tidak menyebut alamat yang jelas sebagai penduduk desa Mekar Jaya. [8] Sedangkan jumlah pihak penjual diantara masyarakat desa Mekar Jaya ada sekitar lima puluh delapan warga tertera dengan jelas beralamatkan didesa Mekar Jaya, dan dinyatakan sebagai pemilik tanah desa Blok Sandrem, lengkap dengan nomor code, persil, kelas maupun jumlah luas tanah masing-masing serta nomor akta berikut tanggal dan tahunnya. Untuk tanah blok Sandrem ini tercatat dengan jumlah sekitar 37,7 hektar.
Sebagaimana tertera pada brosur-brosur maupun majalah Al-Zaytun sendiri, mereka (YPI) menyatakan memiliki (menguasai) tanah di kawasan desa Mekar Jaya, Kecamatan Haurgeulis, Kabupaten Indramayu seluas 1.200 Ha. Secara defacto, penguasaan tanah oleh Yayasan Pesantren Indonesia di areal seluas 1.200 hektar di Gantar, desa Mekar Jaya dengan status wakaf seluruhnya, tidak akan dapat diingkari ataupun dinafikan oleh pihak manapun. Karena, penggunaan lahan di lokasi tersebut telah ditunjukkan dalam bentuk bangunan Pesantren, dengan segala sarana pendukungnya membuat hampir setiap yang menyaksikan dan dekat menjadi terkagum-kagum.
Apalagi berita dari mulut ke mulut meneruskan pernyataan Syaikh Al-Ma'had Al-Zaytun tentang kronologi pembangunan pesantren yang dikatakannya menggunakan sistem lelang dan wakaf, sebagaimana pernah disampaikan dengan penuturan yang runtut dan meyakinkan kepada wartawan (reporter) Harian Pelita, edisi 27 Juli 1999, antara lain:
"Mulanya yayasan hanya mampu membeli 5 ha dan kemudian bertambah sedikit demi sedikit dari hasil wakaf puluhan kaum muslimin yang mampu, sampai tercapai 1.200 ha, demikian juga untak bangunan bertingkat yang ada. Kita pernah mengadakan lelang tiang bangunan, dimana satu tiang dihargai 50 juta rupiah, dan alhamdulillah seluruh tiang bangunan ada yang membelinya. Penggalangan dananya seperti itu. [9]
Wujud fisik megahnya bangunan pesantren Al-Zaytun dengan segala kelengkapan sarana pendukungnya inilah yang membuat banyak kalangan tak percaya, bila status wakaf pada tanah milik Yayasan Pesantren Indonesia secara dejure sungguh ternyata belum ada atau tidak ada sama sekali. Artinya, secara administratif Yayasan Pesantren Indonesia sama sekali belum memiliki selembar pun sertifikat wakaf atas tanah yang luasnya 1.200 hektar tersebut.
Jangankan 50 hektar atau 37,7 hektar sebagaimana contoh data yang dikeluarkan oleh kantor kelurahan (Kepala Desa) Mekar Jaya seperti yang disebut di atas, satu hektar pun tak punya, tidak ada sama sekali bukti sertifikat wakaf sah yang dikeluarkan oleh pihak yang paling berkompeten dalam masalah pertanahan (BPN) dimiliki dan dipegang oleh Yayasan Pesantren Indonesia. Selain itu pembelian dan pengatas-namaan YPI (Yayasan Pesantren Indonesia) serta status waqaf pada tanah tersebut yang sesungguhnya terjadi adalah merupakan hasil kejahatan dan penipuan dari sebuah kelompok atau gerakan sesat dan menyesatkan terhadap para anggota atau jama'ahnya, dengan mengatasnamakan diri sebagai NII KW-9 yang menghebohkan sejak beberapa tahun yang lalu hingga sekarang ini (tahun 1990 s/d tahun 2001).
Melalui program Infaq Daulah, Shadaqah Tarbiyah dan Shadaqah Aradhi --beli sawah diwajibkan bagi setiap anggota jama'ah NII KW-9 dengan harga maupun luas tanah yang harus dibeli dan dishadaqahkan sangat berlainan, dengan demikian banyak sekali korban yang tertipu serta habis tandas tanah maupun rumah kediaman mereka, demi memenuhi program wajib tersebut.
Paling tidak, sampai buku ini disusun, ketika Penulis melakukan konfirmasi kepada Pemda Indramayu, pihak BPN belum pernah mengeluarkan sertifikat wakaf pada tanah-tanah yang telah diklaim oleh YPI sebagai tanah wakaf mereka. Dan yang ada di tangan YPI hanyalah lembaran-lembaran Ikrar Wakaf dan lembaran Akta Ikrar Wakaf serta Salinan Akta Ikrar Wakaf yang dikeluarkan oleh Kepala Kantor Urusan Agama Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf Kecamatan Haurgeulis, yang ditandatangani oleh Zulqowim ZA, BA, tertanggal 7 Mei 1996. Jadi, baru sampai tingkat Kecamatan saja. Itupun tercatat dalam jumlah yang tak lebih dari sekitar 58 hektar saja. [10]
Banyak orang dan kalangan yang sama sekali tidak menyangka bila pondok pesantren Al-Zaytun yang termegah itu ternyata dibangun dan didirikan dengan modal awal hasil kejahatan serta hasil mendhalimi (menyengsarakan) banyak orang dengan mengatas-namakan agama dan gerakan NII (Negara Islam Indonesia) Kartosoewirjo, yang hingga saat inipun masih menimbulkan banyak korban. Hal yang faktual ini tetap saja dibantah oleh kalangan Al-Zaytun.
Misteri Al-Zaytun dan komunitasnya sangat dirasakan oleh penduduk sekitar Ma'had ini, seperti Desa Tanjung Kerta, Suka Slamet dan Mekar Jaya, antara lain dari sikap tertutup mereka. Juga, penjelasan yang terasa asing, diantaranya mereka mengatakan bahwa proyek Ma'had Al-Zaytun ini adalah proyek untuk Allah, sekaligus milik ABRI, dan untuk Madinah ke II.
Menjadi lebih misterius setelah beberapa orang warga dari penduduk sekitar yang diterima sebagai pengajar di Ma'had tersebut (lulusan Gontor), ternyata kemudian cenderung menarik diri dari komunitas asalnya, serta hilang tegur sapanya dengan masyarakat desa itu setelah bergabung dengan komunitas Ma'had ini. Dan warga pun mulai mencium aroma paham aneh dalam praktek ubudiyah di Ma'had ini, misalnya soal makmum masbuq yang tidak perlu lagi menyempurnakan (melengkapi) kekurangan jumlah rakaat yang ketinggalan, dengan alasan karena sudah ditanggung oleh Imam.
Sikap anti-sosial dan bahkan sangat menyebalkan serta dhalim, menurut penuturan sebagian warga desa Suka Slamet, ketika sawah milik Al-Zaytun yang tadinya disepakati boleh disewa-pakai oleh mantan pemiliknya, digarap dan bahkan ada yang hampir mendekati panen, tiba-tiba dengan alasan lokasi tersebut akan segera digunakan, tanpa mempertimbangkan jerih payah maupun kesepakatan sebelumnya, garapan warga tersebut dibuldozer oleh pihak Al-Zaytun tanpa perasaan sama sekali. Warga pun jadi sangat kecewa. "Ini katanya untuk Islam, tapi kok tega-tega amat ya, mereka ini orang Islam golongan apa ya?"
[8] Padahal kompleks Al-Zaytun sendiri baru dibangun dan berdiri dalam bentuk kompleks pemukiman setelah tahun 1998, dengan kronologi setelah akta pendirian YPI tertanggal 28-01-1994 terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri Subang, YPI mendirikan cabang di Kabupaten Indramayu, Kecamatan Haurgeulis, di Desa Mekar Jaya tersebut, tanggal 17-05-1995 dan terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri Indramayu pada tanggal 22-05-1995. Selanjutnya baru dibentuk Al-Zaytun dependen dari YPI, yang merupakan nama paten dari segala bentuk usaha yang diupayakan YPI di berbagai daerah dalam bentuk pesantren ataupun lainnya, dengan akta notaris tertanggal 13-08-1996 pada notaris yang sama, dan terdaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri Subang pada tanggal 16-08-1996. Sejak saat itulah person-person yang dijadikan ujung tombak YPI untuk mengatasi hal-hal yang berkaitan dengan jual-beli dan pengurusan status wakaf pada tanah-tanah masyarakat oleh YPI menggunakan Al-Zaytun sebagai alamat mereka, nama pondok pesantren yang mereka cita-citakan.
[9] Yang sebenarnya terjadi dalam kenyataannya tentu sangat bertolak belakang, karena berdasarkan keterangan para mantan korban NII KW-9 Pimpinan Abu Toto, program pembehasan tanah untuk mendirikan teritory Madinah NII kedua sudah dicanangkan sejak tahun 1993 oleh Abu Toto dengan nama sandi Shadaqah Arodhi yang ternyata banyak penyimpangan (korupsi) dalam program ini.
[10] Upaya untuk mendapatkan status wakaf atas tanah-tanah YPI sendiri baru dilakukan pengesahannya secara administratif pada tanggal 7 Februari 1996 dan mendapatkan surat keterangan dari desa tentang perwakafan hak milik tertanggal 06 Februari 1996. Ini pun sebenarnya masih memiliki cacat hukum, artinya secara yuridis formal masih belum memiliki keabsahan.