Minggu, Desember 05, 2004

Kesaksian Karyawan AL Zaytun

Emir anak saya sudah terlibat dalam gerakan NII sejak tahun 1995, setelah kuliahnya selesai di Trisakti dan memperoleh gelar kesarjanaannya di Fakultas Elektro dan bekerja di salah satu BUMN, tiba-tiba saja berhenti kerja, ketika Ma had Al-Zaytun berdiri dan kemudian diresmikan oleh Presiden Habibie tahun 1999.

Emir anak saya langsung pindah kerja di sana disertai istrinya yang dokter gigi, sedang anaknya dititipkan kepada kami di rumah, kini anaknya sudah dua dan keduanya kami kakeknya yang memelihara.

Sementara Emir dan istrinya baru pulang menengok anaknya setiap enam bulan selama 3 minggu di rumah. Yang saya prihatinkan adalah sejak ia terlibat dengan kelompok pengajian yang akhirnya saya tahu markaznya di ma had Al-Zaytun ini adalah, sikapnya yang tidak tertib dalam mengerjakan shalat fardlu, kecuali bila setelah saya marah dan mengancam, baru anak saya tersebut mau melaksanakan shalat.

Tetapi sejak dahulu hingga sekarang dalihnya adalah sekarang ini masih masa periode Makkah sehingga belum wajib shalat, dan dalam setiap perdebatan sekalipun anak saya kalah dalam dalil atau argumentasi, namun tetap saja ia bersiteguh dengan sikap dan pemahamannya yang salah itu. Saya sedih dan prihatin dengan cobaan yang menimpa keluarga saya seperti ini.

Dalam masalah materi pun Emir dan istrinya tidak pernah membawa pulang atau pun mengirim hasil jerih payah kerjanya di ma had Al-Zaytun tersebut, mereka tidak pernah berpikir tentang keperluan 2 anaknya, sekalipun dalam masalah itu kami alhamdulillah tidak kekurangan.

Akan tetapi yang saya pertanyakan, kenapa mereka yang bekerja sedemikian lama itu jika waktu cuti pulang selama 3 minggu itu selalu saja tetap minta uang kepada kami orangtuanya.

Ketika saya tanyakan, selama kalian berdua bekerja di ma had ini gaji kalian dimana, mereka pun hanya menjawab, untuk kebutuhan perjuangan yang sangat membutuhkan tenaga serta dana yang sangat banyak.

Anak dan menantu saya sikapnya memang masih cukup sopan dengan kami orang tuanya, namun saya kan tetap khawatir bagaimana jadinya anak saya nanti kalau tetap seperti itu?

Memang waktu buku ini (Pesantren Al-Zaytun Sesat? Investigasi Mega Proyek dalam Gerakan NII) belum diluncurkan, anak saya minta kepada saya via telepon agar dicarikan buku tersebut.

Padahal saya sendiri baru tahu tentang telah terbit buku ini setelah ada acara peluncuran dan bedah buku di TIM itu.

Makanya saya datang ke kantor sekretariat SIKAT ini disamping minta penjelasan dari penulisnya langsung, saya juga berharap dan bertanya langkah apa kiranya yang bisa segera menghentikan hubungan anak saya tersebut dengan pihak Al-Zaytun ini?

Sekarang anak saya Emir ini katanya memegang pekerjaan bidang pembibitan ikan Patin, padahal dia kan sarjana elektro, sedang mantu saya tetap sebagai dokter gigi di poliklinik kesehatan ma had tersebut.

Kalau saja langkah maupun tujuan mereka menegakkan syari at Allah dalam wujud Negara Islam itu betul, saya sama sekali tidak akan menghalangi dan kalau mungkin saya pasti akan mendukung dan membantunya, tapi mana bisa kita percaya kalau ternyata dalam prakteknya mereka tidak melaksanakan shalat fardlu, dan malah terbukti banyak melanggar syari'at serta aqidahnya menyimpang dan sesat.