Rabu, September 07, 2005

FUNDAMENTALISME NII AL ZAYTUN

Sumber : ITGO

Sejak komunisme ambruk dan delegitimasi, fundamentalisme Islam menjadi isu dan komoditi politik yang sangat menguat, terutama di Dunia Barat. Dalam pengertian umum, fundamentalisme adalah upaya untuk mengatasi kebekuan pemikiran Islam. Ibnu Taimiyah menyatakan fundamentalisme sebagai gerakan mujaddid ( pembharu ) yang berusaha mengecam, dan mengikis segala keyakinan, kepercayaan dan peraktek-peraktek dari luar Islam yang menyusup kedalam ajaran Islam.

Ibnu Taimiyah mengajak ummat kembali pada Quran dan Al Sunnah, membuka pintu ijtihad dan menentang taqlid, sehinga ia sering disebut sebagai bapak fundamentalisme Islam pada zaman modern. Ia mengecam kebodohan ummat Islam tentang syariat, praktek-praktek bidah dan syirik sebagai situasi jahiliyah sebelum kelahiran Muhammad SAW. Gagasannya memperoleh kaki dalam gerakan Wahabi di wilayah Arab sampai kini.

Pada perkembangan menjelang akhir abad ini, seorang artikulator demokrasi liberal, Francis Fukuyama melihat, fundamentalisme Islam muncul dan menjadi bahaya terhadap Barat. Mengapa? Fukuyama menjawab: karena masyarakat Muslim merasa sangat terancam dengan nilai-nilai Barat yang diimport ke Dunia Muslim dan ada perasaan betapa martabat Muslim teluka begitu dalam oleh kegagalannya untuk mempertahankan koherensi masyarakat tradisional santeri dan keberhasilan teknik dan nilai Barat yang merasuk ke Dunia Islam, yang membuat ummat Islam mengalami alienasi, anomie, minder dan kecil hati.

Kenyataan yang menyakitkan itu, diperparah lagi oleh cara dan model media Barat dalam melakukan pembunuhan karakter ( character assasination ) terhadap Isalm. Akbar S Ahmed menunjukan bagaimana media massa Barat telah sukses dalam membangun citra negatif Islam, sehingga masyarakat Barat menolak nilai seperti toleransi dan kecintaan pada ilmu pengetahuan, menolak universalisme Isalm.

Padahal, demikian Akbar Ahmed, Islam sangat mengapresiasi kebajikan dan humanisme Nelson Mandela, Suster Theresa dan Vaclav Havel. Namun Barat menolak humanisme Islam, bersikap sebaliknya.

Kenyataan-kenyataan ini telah membuat ummat di berbagai belahan bumi mengambil prakarsa dan cara sendiri sesuai situasi dan kondisi sosial-kulturalnya dalam beraksi menghadapi modernisasi, Westernisasi dan sekularisasi.
Dalam konteks globalisasi pada milenium ketiga ini, barangkali pengertian yang paling mendekati kebenaran obyektif tentang fundamentalisme Islam adalah definisi Fazlur Rahman.

Secara umum, kata Rahman, sekarang fundametalisme diartikan sebagai gerakan yang menentang Westernisasi dan sekularisasi di Dunia Islam. Fundamentalisme Islam, demikian Fazlur Rahman, adalah gerakan yang menampilkan Islam sebagai sistem alternatif, sebagai kekuatan pembebas ( liberating force ), yang membebaskan pemikiran ummat baik dari berabad-abad tradisi maupun dari dominasi intelektual dan spiritual Barat. Karena merupakan gerakan pembebasan, maka fundamentalisme sangat dekat dengan perjuangan politik. Dalam perkembangan lain, ada kesadaran ummat bahwa globalisasi adalah "politik" imperialis baru dari Barat yang diwarnai semangat phobi-islam. Dan meminjam Hannah Arendt, semua "politik" adalah perjuangan untuk merebut kekuasaan, dimana the ultimate kind of power is violence. Di sini kekuasaan dan kekerasan merupakan suatu keniscayaan.

Karena itu, Barat dan Islam kini secara simbolik maupun karakteristik, saling berhadap-hadapan. Pada aras ini, kekhwatiran Barat terhadap Aksi Sejuta Ummat di Monas Jakarta yang dianggap AS dan Barat sebagai gejala fundamentalisme Islam, "imajinatif" bisa mereka justifikasi meski sulit dipahami. Apalagi kami (Al Chaidar), ketua aksi tersebut, (secara main-main dan gila-gilaan ) memancing emosi massa dengan melontarkan ide Negara Islam Indonesia (NII) untuk mengatasi kerusuhan horisontal yang bercabang vertikal di Ambon-Maluku. Praktis, menghadapi bahasa politik Islam dengan simbol NII itu, langsung saja Barat sangat curiga. Sebab sejak era perang Salib sekitar abad 9-11, Barat selalu cemas dan curiga berlebihan terhadap Islam. Sikap semacam itu dewasa ini kembali diartikulasikan Samuel Huntington sebagai "the clash of civilisation", meski pandangan Huntington itu keliru dan menyesatkan. Pandangan Huntington paralel dengan persepsi Michael Walzer kurun 1980-an yang melukiskan fundamentalisme Islam sebagai "the Islam Explosion", dimana Islam memainkan peran penting dalam pembunuhan, peperangan dan konflik yang berstruktur kekerasan. Kembali pada konteks Indonesia, di bawah krisis ekonomi dewasa ini, Islam bisa digunakan untuk mengekspersikan oposisi apabila ummat merasakan saluran politik mampet, dan ketidakadilan meluas merajalela. Di sini, meminjam diskursus James Piscatori, Islam sebagai ekspresi oposisi dan sikap politik, relatif sangat mengena, relevan dan efektif. Dalam konteks ini, bolehlah kita bertanya: Apakah kasus pembacokan Matori Abdul Djalil dan gerakan NII ( N-Sebelas ) KW 9 ala Abu Toto, bisa dikaitkan dengan fundmentalisme Islam? Jawabnya, fenomena itu lebih sebagai "kriminalitas" yang bermotiv ekonomi suatu "kriminalitas" yang relatif eksklusif, ekstrim dan berstruktur kekerasan. Kalau fenomena itu dicurigai sebagai "gerakan" bermotiv politik, bisa jadi masih teka-teki. Dan apabila aksi pembacokan Matori dan penyelewengan KW9 NII Abu Toto itu dianggap sebagian pihak sebagai fundamentalisme Islam, maka meminjam wacana Aswab Mahasin, jelas telah terjadi dekadensi fundamentalisme yang tampak sebagai ekslusifisme yang emosional dan garang

========

Catatan Kepustakaan

1. Francis Fukuyama, "The End of History and the Last Man", Free Press, 1992
2. Akbar S Ahmed, Media Mongol at the Gates of Baghdad, dalam Nathan Gardels (ed), "At Century s End", New Perespective Quarterly, ALTI Publishing, 1995
3. Hannah Arendt, all politics is a struggle for power, the ultimate kind of power is violence, "Reflections on Violence", dalam Robert B Silvers et all (Eds), "The First Anthology", A New YorkReview Book, 1992
4. James Piscatori mengatakan: "Islam can be used to express oppoition" James Piscatori, Islam dan World Politics, dalam John Baylis and Nj Rengger (Eds), "Dilemmas of World Politics", Clarendon Pres Oxford, 1992
5. Aswab Mahasin, sebagaimana dikutip Djalaludin Rakhmat, Fundamentalisme Islam, Mitos dan Realitas, "Prisma" No Ekstra 1984. Tentang pandangan Fazlur Rahman dan Ibnu Taimiyah, lihat esai Nurcholis Madjid dan Djalaludin Rakhmat pada Prisma yang sama.