Selasa, Januari 24, 2006

GHOZWUL FIKRI dan NII AL ZAYTUN

blogspot

Ghozwul Fikri atau perang pemikiran sudah mafhum diketahui oleh para aktifis Islam. Semenjak kekalahan mereka di perang salib, mereka putar haluan. Mereka sadar bahwa selama masih ada risalah Jihad dan Syahid, maka umat Islam akan tetap eksis di muka bumi. Beralihlah strategi perang! Perang yang biasa kita kenal dengan perang dingin atau perang urat saraf ini benar-benar memiliki bahaya laten. Dimana sang korban tidak mengetahui bahwa dirinya sedang diperangi. Hasilnya??? Memang tidak ada darah yang bercucuran secara langsung, tidak pula harta kekayaan yang tergadai atau dirampas. Tapi mungkin, sang korban akan mengalirkan darahnya sendiri dan menyerahkan hartanya untuk sang pemenang secara ‘sadar’.

Dalam peperangan niscaya akan jatuh korban. Tapi bagaimana jika korban tak mengetahui bahwa dia berada dalam posisi perang?! Inilah yang saya maksud dengan kejahatan/bahaya laten perang pemikiran. Membodohi lawan. Menipu dan membuainya dalam ‘kemapanan’. Jika dalam pertarungan fisik genderang perang ditabuh keras, komando untuk menyerang dikumandangkan lantang hingga masing-masing pihak sadar dengan kekuatannya (posisinya). Masing-masing saling mengancam, meneror dan membuat kekakutan pada lawannya. Maka ghozwul fikri tidaklah demikian! Dalam perang ini justru, yang penggagas perang, menyerang lebih ‘kejam’ lagi. Tidak ada genderang perang, yang ada adalah tarian kesenangan, orasi pembangunan, dan teriakan-teriakan kemerdekaan. Musuh di perdaya sedemikian rupa hingga tidak mengetahui manuver-manuvernya. Dan keberhasilan dari setiap serangan di ukur dari sejauh mana musuh merasa dirinya aman, damai dan tidak mengetahui peperangan ini.

Yup! mungkin lebih tepat jika disebut invasi pemikiran. Sebab pergolakan yang terjadi hanya sepihak, dan realita menunjukkan bahwa dalam ghozwul fikri tak pernah ada sparing patner. Yang perlu di garis bawahi disini bahwa pihak-pihak yang terkait adalah Ahlul Fikr (Orang-orang yang memiliki pemikiran). Atau lebih besar yang lagi adalah seorang ideolog, karna ideologi menuntut semua penganutnya untuk menjadi propagandis-ideologis.

Semiotika Propaganda

Usaha menebar pengaruh atau mempengaruhi orang lain membutuhkan pengorbanan tenaga dan harta, bahkan curahan pemikiran yang integral dan komprehensif. Dan seorang Propagandis Ideologis akan melakukkannya dengan tulus, sebab ia telah mengikrarkan dirinya sebagai Ahlul Fikr dari paham tertentu. Seorang Ideolog mengabdikan seluruh hidupnya, waktunya dan tenaganya untuk menebar idealisme yang di klaim sebagai kebenaran mutlak yang belum diketahui oleh orang lain. Dia merasa bahwa memang untuk itulah ia hidup dan diciptakan. Dan dia yakin akan hal itu. (keyakinan inilah yang perlu di pertanyakan, sebab keyakinan hanya akan ada pada kebenaran dan kebenaran hanya ada pada ide/konsep/paham yang benar pula!)

Dalam dunia semiotika dikenal dua unsur, “penanda” dan “yang ditandai”. Semiotika merupakan salah satu ilmu propaganda, karena kerap kali digunakan untuk hal ini. Dan ini penting bagi kita! Penting bagi sang propagandis untuk men-frame interpretasi, dan penting bagi rival-nya untuk menganalisis wacana yang dipropagandakan.

Setiap simbol identik dengan konsep tertentu, dan sering dianggap sebagai representasi dari konsep tersebut. Simbol digunakan untuk menyebarluaskan konsep yang di inginkan oleh sang Propagandis. Berhasil atau tidak, tindakan ini memunculkan kepuasan tersendiri bagi sang ‘agitator’.

Propaganda Negara

Tentunya kawan-kawan lebih tahu! Setiap negara memiliki ideologi atau paling tidak paham tentang negaranya. Tentunya kawan-kawan lebih paham! Tiap negara menginginkan integrasi pada mulanya. Tentunya kawan-kawan juga sepakat, bahwa tiap negara tak menginginkan pemberontakan, perpecahan dan segala bentuk dis-integrasi lainnya. Juga bahwa gerakan separatis tak akan mendapat restu di mata hukum yang menaungi tiap negara.

Tiap negara akan melakukan propaganda kepada masyarakatnya, untuk tetap berada di dalam ‘kesepakatan proklamasi’. Domestic doctrin harus tetap menghegemoni di seluruh wilayah kedaulatannya. Dan pemerintah memiliki tanggungjawab akan hal ini. Begitupun Indonesia dengan ORBA-nya. Bagaimana rezim ini begitu represif terhadap warganya? Bagaimana UU subversif benar-benar dilaksanakan?

Kesemuanya itu merupakan wujud kesadaran akan penjagaan ideologi negara. Terlepas positif atau negatif, hal semacam ini adalah vital dan fundamental bagi keberlangsungan eksistensi sebuah negara. Tinggal bagaimana kita menyikapi kesadaran ini dengan penilaian yang objektif tentang ideologi negara dan metode penjagaannya.

Negara terkadang juga melakukan tindakan terorisme, baik secara fisik, mental maupun spiritual. Teror kepada individu (warga negara ataupun yang bukan warga negara asing), organisasi/lembaga, maupun negara lain. Secara fisik kita bisa melihat sebuah negara mendeportasi, invasi dan intervensi ketiga pihak tadi. Disamping itu, negara juga melakukan propaganda secara massif. Dengan kebijakan-kebijakan, intruksi tak tertulis maupun tertulis seperti media massa, negara melakukan kontrol terhadap warganya. Kasarnya, kita berada dalam cengkraman propaganda legal-formal. Tangan-tangan tersembunyi yang memainkan instrument propaganda ini biasanya Lembaga Pers, LSM dan Organisasi terselubung yang bergerak secara underground.

Kembali ke ORBA. Rezim ini paham betul akan hal ini, dan berusaha menjalankan fungsi-fungsi propaganda dengan lembaga tadi. Tidak hanya menggunakan ‘tangannya’ sendiri, propaganda juga sering kali menggunakan ‘tangan-tangan’ lawan. NII salah satunya! Bagaimana intelejen ORBA melakukan infiltrasi yang hampir sempurna. Meski diketahui oleh para petinggi NII waktu itu, para infiltran tetap saja mampu menembus birokrasi dan menuju puncak stratifikasi.

Tersebutlah nama Adah Jaelani dalam sejarah NII. Dia berhasil mengobrak-abrik NII secara struktural dan konseptual. Bersama Toto Abdus Salam bahu-membahu menjadikan NII benar-benar sesuatu yang baru, dan menyimpang dari manhaj yang di bentuk oleh Kartosuwiryo. Terjadilah re-organisasi, re-strukturisasi dan re-konsepsi secara radikal dan fundamental!

Tak perlu disebut secara kronologis, karna sudah begitu banyak distorsi informasi. Tapi yang masih dapat kita analisa adalah paham dan pola gerak mereka (NII ala Adah Jaelani&Toto Abdus Salam) mengadopsi Aqidah Ingkar Sunnah dengan manhaj Lembaga Kerasulan.

NII, yang sebelumnya merupakan hasil interpretasi dari konsep negara ideologi islam, oleh ijtihad kartosuwiryo diperkecil lingkup penegakkannya dengan menjadikannya state of nation kemudian kandas ditengah jalan. NKRI berhasil menjaga asas Pancasila-nya hingga hari ini (paling tidak formalitasnya!).

Jika di komparasikan dengan kasus PKI, maka penghancuran NII punya keunikan tersendiri. Penghancuran yang begitu fenomenal, yang hingga saat ini citra dan idenya rusak di mata masyarakat umum. PKI bisa saja bangkit kembali (tanda-tandanya dapat kita lihat saat ini), karna yang hancur dari PKI adalah organisasi dan struktur formalnya an sich, sedangkan pemikiran dan konsep komunisme belum benar-benar lenyap dari Indonesia. Tapi NII begitu parah mendapat pukulan pemikiran dari intelejen ORBA. Ingat! infiltrasi terhadap NII tak sebatas aparat dan perangkat struktur tetapi konsep dan ide perjuangan. Kalau pun toh ada gaung tentang penerapan syari’at islam atau negara islam, dapat dipastikan bukan dari NII dengan manhaj yang sama (yang state of nation itu!).

NII-KW 9 Sang Trouble Maker!

Siapa KW 9? Apa kaitannya dengan NII dan Ghozwul Fikri? Yang perlu dijelaskan adalah bahwa KW 9 bukan-lah NII! Klaim mereka sebagai penerus perjuangan Kartosuwiryo adalah penipuan terbesar pada umat Islam pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

KW 9 adalah Komandemen Wilayah NII yang meliputi JADETABEK+Banten. Ranah teritori NII yang di klaim seluruh faksi NII pada tahun 1976 kini berpindah tangan! Revolusi terjadi. Dan sepertinya usaha NKRI untuk mengenyahkan NII berhasil...

Inilah NII yang sekarang, KW 9 yang notabene hasil integrasi Badan Intelejen dengan sekoci-sekoci NII yang terpencar. NII yang sejatinya korban dari ghozwul fikri intel ORBA, meski sampai saat ini mereka tetap mengklaim tengah melakukan shiro’ul fikri (pergolakan pemikiran) dengan NKRI. Klaim negara dalam negara yang sebenarnya adalah sub-state yang dipelihara untuk kepentingan tertentu.